Islam Medsos : Yang Hilang Dari Kita

Muhammad Fairuz Rasyid,M.Pd

Istilah Islam Medsos hanyalah frasa komunikasi media sosial. Sebuah ungkapan yang merujuk pada gejala beragama yang marak terjadi di ruang media kita. Hal yang tak sulit dilacak oleh siapapun, bahkan oleh remaja yang baru saja terbangun dari mimpi akil-balignya.

Islam Medsos adalah kegelisahan penulis yang berusaha memotret wajah berislam orang-orang medsos. Hal yang saat ini menjadi sorotan para orang tua yang turut prihatin melihat anaknya "sakau" gawai daripada pergi mengaji. Sementara frasa selanjutnya terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Prof. Quraish Shihab dengan judul yang sama. Buku tersebut secara mendalam mengkaji mengenai akhlak yang dinilai telah meredup pancarannya di tengah-tengah kehidupan beragama kita. Sehingga dapat dikatakan Islam Medsos berkaitan dengan praksis yang kehilangan dimensi akhlak.
Anda tentu memiliki akun facebook atau twitter atau instagram pribadi bukan? Anda pernah mengikuti sebuah grup atau postingan dengan nada memancing untuk diskusi perihal keagamaan? Coba perhatikan kolom komentar lantas cermati bagaimana setiap akun menyuarakan pendapatnya. Tentu disana terdapat akun yang berpendapat secara sopan dengan bahasa lugas, adapula yang berkomentar dengan nada jenaka.
Namun tidak sedikit pula yang berkomentar dengan nada menjelekkan, sumpah serapah, disinformasi, tidak nyambung dengan status, atau bahkan melabeli anda dengan cap kafir, munafik, murtad, dan tuduhan lain yang tak berdasar lainnya. Secara personal mungkin kita tidak mengalaminya, namun terdapat beberapa fanpage atau akun tokoh publik yang mengalaminya dan akan sangat mudah bagi kita untuk menemukan komentar-komentar bernada "aneh" tersebut disana.
Sering terjadi di medsos, adanya semacam pengakuan berlebihan atas kebenaran suatu pendapat sehingga menimbulkan sikap menyalahkan pihak lain yang berbeda. Banyak sekali konfrontasi terjadi di ruang medsos, apalagi ketika membicarakan kekuasaan. Identitas keagamaan secara otoriter memainkan peran luar biasa disana.
Sejatinya meski kritik virtual akhlak tetap dinomorsatukan (Hakim, 2018: 3). Bagaimana secara eksplisit Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa tradisi ulama terdahulu meski saling mengkritik, tetapi pada dasarnya mereka saling mendoakan dan memohonkan rahmat (M. Quraish Shihab, 2016: 37), hal demikian mudah ditemukan pada naskah kitab-kitab ulama terdahulu. Coba kita bandingkan dengan akhlak orang-orang yang mengaku sebagai santri atau murid dari ulama di atas.
Sopan-santun di ruang medsos tampaknya terkikis dengan dalih pembenar bahwa komunikasi yang terjadi bukan face to face. Komunukasi virtual telah menjadi perisai yang menambah kebanyakan orang untuk berani bersikap secara terbuka dan terkadang berlebihan (Hakim, 2018: 11). Ketidakhadiran ruang tatap-muka justru menjadi persembunyian yang membuat setiap orang berkesempatan untuk lempar batu sembunyi tangan.
Urun-rembuk pendapat bukanlah sesuatu yang dilarang, namun "memaksakan" pendapat seraya memaksa orang lain untuk meyakininya adalah tidak terpuji ditambah lagi dengan caci-maki. Menguatkan argumen berbeda dengan memaksakan kehendak. Menguatkan pendapat berarti meneguhkan argumen supaya lebih meyakinkan dan karenanya tidak ada pertentangan untuk menerimanya. Sementara memaksakan pendapat lebih sering bermakna intimidasi dan ancaman supaya pendapatnya diterima oleh orang lain.

Kita akan lebih mudah membaca hal ini dengan meminjam konsep otoritarianisme Khaled M. Abou Al-Fadl. Menurutnya otoritarianisme mengacu pada tindakan seseorang yang menggunakan simbol komunitas interpretasi hukum tertentu (misal. Mazhab, organisasi, ulama dll) untuk mendukung argumentasi mereka seraya mengebiri otoritas budaya hukum demi melayani kepentingan pribadi. Masih menurut Fadl, bahwa otoritarianisme adalah sebuah perilaku yang sama sekali tidak berpegang pada prasyarat pengendalian diri dan melibatkan klaim palsu yang dampaknya adalah penyalahgunaan Kehendak Tuhan (Abou El Fadl, 2004:137).

Mari kita gunakan kaca mata ini untuk melihat sikap sewenang-wenang beragama ala medsos. Misalnya wujud produksi ujaran yang mengatasnamakan tokoh Islam tertentu untuk melayani kepentingan pribadi maupun golongan. Hal ini marak terjadi terutama pada masa kampanye, sebagaimana dilansir oleh kominfo ada temuan 64 hoax tiga hari pasca pemilu (Hutabarat, 2019).
Dengan modus lain misalnya sekelompok orang yang menyebut diri sebagai ulama lantas menetapkan salah satu kandidat yang layak dipilih berdasarkan kriteria keislaman tertentu. Akan tetapi dalam praktik medsos alih-alih menguatkan argumen kelayakan pilih yang terjadi justru (biasanya) pembenaran dan arogansi (legitimimasi klaim ulama) dan pencatutan atribut keagamaan (misal. Surga, neraka, kafir, murtad, jahanam, dll) untuk memaksakan pendapatnya. Kasus ini terjadi misalnya pada pemilihan gubernur DKI Jakarta kemarin (Edi, 2017).

Secara masif dan pasti informasi tersebut tersebar melalui kolom-kolom komentar pengguna medsos. Dengan jumawa mereka menyatakan bahwa,”Pilihan saya adalah pilihan tokoh tertentu (ulama) dan dengan demikian kamu harus menghormati sekaligus mengikuti pilihanku.”
Dialog imajiner itu pasti secara mudah dapat kita temukan di ruang medsos terutama pada halaman (fanpage) terkait. Sementara pihak lain pun menghadapi serangan lawan dengan cara yang sama. Muncullah caci-maki dan labeling (cebong dan kampret misalnya). Bahkan pertengkaran di dunia medsos akan terbawa pada dunia kehadiran. Tak jarang seseorang mendapat perlakuan tidak baik sebab hal sepele yang berlangsung di medsos sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Depok. Seorang pelajar yang kehilangan nyawa hanya karena saling ejek di media sosial (Ikhsan, 2019).
Pertanyaan evaluatifnya adalah, benarkah Islam itu sebuah friksi yang terpecah dan saling berbeda antara ajaran, praktik kehadiran dan ruang medsos? Bukankah akhlak adalah hal utama dalam Islam? Apakah “al-muslim akhul muslim” hanyalah slogan yang dipakai di mimbar khutbah saja? Apakah ajaran menghormati dan mengasihi hanya tersimpan rapi di dalam kertas berwarna kuning saja?
Pertanyaan semacam ini tidak membutuhkan jawaban iya-tidak, benar-salah, atau apapun bentuk biner lainnya. Lebih penting untuk menjawabnya dalam bentuk perilaku daripada sekedar rangkaian huruf dan suara. Ada baiknya jika kita renungkan nasihat agung dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berikut:
“Merugilah, kau mengaku mengenal Allah tetapi tidak mengasihi makhluk-Nya. Pengakuanmu hanyalah dusta. Orang yang mengenal-Nya mengasihi semua makhluk karena ilmunya, iapun akan mengasihi semua kaum karena keadilannya. Hai orang yang mengharapkan kasih-sayang dari Allah, bayarlah harganya. Apakah harganya? Kasih-sayang kepada makhluk-Nya dan ketulusan niatmu kepada mereka (Al-Jailani, 1994: 55).”

Sumber
Shihab, M. Quraish. Yang Hilang dari Kita Akhlak. Tangerang: Lentera Hati, 2016.
Hakim, Irfan Nur. Akhlak Nge-Medsos. Ciputat: Yayasan Islam Cinta Indonesia, 2018.
Abou El-Fadl, Khaled M. Atas Nama Tuhan. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Al-Jailani. Jalaa Al-Khatiir. Damaskus: Dar Ibn Al-Qayyim, 1994.
Hutabarat, Diani. "3 Hari Usai Pemilu, Kementerian Kominfo Temukan 64 Hoax". Kominfo.go.id, 2019.
Edi, Purnomo."Soal Isu SARA di Pilgub DKI, Buya Syafi'i Sebut Jangan Membajak Tuhan". Merdeka.com, 2017.
Ikhsan, Afdhalul. "Saling Ejek di Media Sosial Berujung Maut, Satu Pelajar Tewas". Kompas.com, 2019.

 

 

Post Author: agama.filsafat

Filsafat Agama merupakan Kerangka Filosofis sebagai analisis membaca Agama.