Melampaui Identitas Pengetahuan

Melampaui Identitas Pengetahuan

Oleh de Bruyere*

Problem berpikir bukan terletak pada kemampuannya dalam membuktikan kebeneran. Merasionalisasi pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan tidak menyelesaikan problem identitas subjektif. Sebab, memang begitulah watak alamiah berpikir, di mana orang awam dan intelek berada pada level yang sederajat. Sehingga cara paling tepat mendefinisikan intelektual adalah dengan menandai kemampuan dirinya melepaskan diri dari identitas yang subjektif, memberikan metode yang bisa dicontoh orang lain agar bisa keluar dari subjektifitas. read more

JEANS DAN SIMBOL EGALITARIANISME

JEANS : Simbol Egaliterisme

Oleh Muhammad Muhibbuddin*

Jika persoalan rasisme mencuat ke permukaan, biasanya akan segera disusul dengan hadirnya diskursus egalitarianisme sebagai counter back-nya. Egalitarianisme seolah menjadi wacana tandingan bagi rasisme.

Berpikiran dan berprilaku rasis, secara langsung atau tidak, akan berhadap-hadapan dengan prinsip-prinsip kesetaraan yang berlaku di ruang sosial-politik. Prinsip kesetaraan ini harus dijunjung tinggi terutama di suatu masyarakat atau negara yang plural dan multikultural, sebagai upaya untuk melegitimasinya. read more

Kekuasaan : Mencari yang Absolut (?)

Kekuasaan : Mencari yang Absolut (?)


Oleh de Bruyere*

Pada mulanya sebatas kesadaran bahwa seseorang mengalami pengalaman tertentu. Dalam benak dan pikirannya, pengetahuan hadir dari pengalamannya sendiri. Setelah melewati proses panjang perenungan hingga mencapai tahap kritisisme tinggi, ia yang mengalami menjadi yakin dan semakin yakin. Begitulah apa yang dikatakan Hegel dan dikutip Jean Hyppolite dari pemikiran Hegel.

Tapi saya masih bertanya-tanya, apakah pengetahuan yang absolute dalam konteks pribadi individu adalah hasil pengalaman atau kritisisme dirinya atas pengalaman dirinya? Anggap saja seseorang yang yakin betul dirinya benar dan berpengetahuan adalah dampak dari pengalaman yang terus berulang dan konsisten. Kita akan tahu, bahwa absolutisme akan berhadapan dengan relativisme yang lahir dari orang yang tidak yakin pada pengalaman dirinya sendiri, ragu dan meragukan pengalamannya sendiri. read more

Tafsir Harian atas Jean Hyppolite

Oleh de Bruyere*

Kadang saya berpikir, apakah orang lain berpikir seperti yang saya pikirkan. Anggap saja Tuhan Sang Pencipta itu memang benar begitu, seperti agama-agama yakini, lantas apakah iya semua orang berkeyakinan akan Tuhan? Sepanjang yang saya tahu, agama menciptakan musuhnya sendiri, yang kemudian disebut sebagai orang kafir. Anggap saja orang tidak percaya Tuhan itu ada, saya jadi bingung apakah ketidakpercayaan bisa disebut sebuah pengalaman pribadi yang sangat personal?

Jean Hyppolite berbicara tentang fenomenologi sebagai bagian awal dari ilmu pengetahun. Katakanlah beriman atau tidak beriman pada Tuhan adalah semata pengalaman parsial manusia secara umum. Yang mengalami Tuhan menjadi beriman, dan yang tidak mengalami Tuhan menjadi kafir. Pengalaman positif dan negatif tentang Tuhan itu seperti dua sisi mata uang, menghadap ke dua arah berbeda dan saling memunggungi. Namun, keduanya mesti sama-sama guna membuat yang lain bisa dimengerti. Dua pengalaman itu saling berhutang budi satu sama lain. read more

Kant: Memimpikan Sebuah Perdamaian


Reza Bahtiar R., M.A

Berbicara perdamaian, seakan kita sedang digiring menembus Sidratul Muntaha, tempat dimana kanjeng nabi Muhammad sowan kehadirat Allah. Absurd..!!!, kata para kaum kafir Quraisy waktu itu. Tetapi mungkin, jika kita ada di waktu itu, tak menutup kemungkinan akan bersikap sama.
Kembali pada perdamaian, dimana doktrin agama & ilmu pengetahuan tak bosan, juga tak henti mendengungkan ajakan, mengomando dengan perintah, serta mengimingi dengan pahala untuk kita, hanya untuk kita!!, agar kita dapat selalu mewujudkannya. Bahkan ilmu pengetahuan dengan repotnya mengkonstruksi sedemikian rupa, dengan metodologi yang rumit, hanya untuk dapat menyumbangkan dalil yang argumentatif, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis pun seakan runtuh jika kita melihat realitas sosial yang jauh dari perdamaian.
Kini konflik-konflik berserakan menyumbat ruang-ruang intim kasih sayang, ibarat sampah menyumbat aliran sungai. Banjir!!. Kita lihat berita di televisi, internet, koran, majalah, dan media sosial seakan tak henti bercerita tentang nestapa perseteruan, baik perseteruan fisik maupun non-fisik yang mengarah pada kehancuran yang niscaya.
Kesejarahan konflik berlangsung begitu abadinya, hingga kita tak sadar sudah bewindu, bahkan berabad lamanya, ibarat kata dari mulai Kakek kita kanak-kanak lalu menua dan mati, hingga cucunya kini menjadi kakek pun konflik belum usai, perdamaian masih disemai. Adapun misalnya, konflik Israel-Palestina, misalnya, telah berlangsung puluhan tahun, bahkan ada yang menyebut ratusan tahun jika mengikuti kesejarahan bani Israil – bangsa Arab ini secara langsung maupun tidak langsung sedang dan selalu mempertontonkan pada dunia bahwa perdamaian itu di langit, karena ego masih menjadi penguasa hati.
Meskipun perdamaian selalu diupayakan melalui traktat-traktat perjanjian damai yang menggunung, dan selalu disepakati. Namun itu hanya semu belaka, karena nyatanya berbeda. Ironis, sangat ironis. Dulu sekali, Kant pernah berdalil, “bahwa perdamaian bukan hanya sekedar bicara tentang keadaan tanpa perang”. Spirit Kant ini menggambarkan bahwa tanpa perang bukanlah indikator perdamaian. Lebih jauh lagi, bahwa perdamaian adalah suatu upaya menghadirkan penghargaan tinggi kepada nilai-nilai kemanusiaan. Spirit inilah yang kini memudar dari internal diri kita. Jika saja dunia ini tercipta tanpa perang, namun spirit kemanusiaan kita tak ada, apakah hal ini dapat disebut dengan perdamaian?. Beranikah Anda menjawabnya?.
Dalam buku babon Zum Ewigen Frieden: Ein Philosophischer Entwurf, Kant menjelaskan tentang perdamaian abadi yang dicita-citakan dapat terwujud bilamana manusia dapat memahami, memposisikan diri lalu mengekstralisasikan dirinya sebagai manusia. Hanya manusia…!!. Karena jika sudah begitu, citra diri sebagai manusia telah melebur menjadi tiada. Sehingga manusia dapat melahirkan nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit), yang dapat memperbudak kecerdasan sekaligus meringkus hawa nafsu.
Nalar kebijaksanaan ini dapat mengaktifkan sel-sel cinta kasih yang berguna sebagai modal dalam pergaulan. Jika sudah demikian, perdamaian abadi dapat membumi. Namun, persoalannya kini terlalu rumit. Godaan-godaan untuk menyimpang semakin terasa getarannya. Uang, misalnya, adalah hal yang paling dicari di dunia yang kapitalistik ini. Terkadang, untuk mendapatkannya kita rela menanggalkan segala idealisme yang sudah menancap kuat di dalam hati. Bahkan, alih-alih membantu, sebagain mereka menggadaikan janji pada kitab suci di kepala, yang hanya jadi pemanis dalam seremoni serah-terima jabatan; bagai kalimat tawar menawar di pasar loak. Juga, ‘seragam kebesaran’ petugas pun rela ditanggalkan lalu diinjak-injak hanya untuk beberapa lembar rupiah, bagai balita merengek minta dibelikan mainan. Mengenaskan bukan?. Tapi ini bukan akhir dari dunia, juga bukan akhir dari harapan adanya perdamaian. Karena bagi mereka para penggadai itu, hal-hal yang mereka lakukan adalah implementasi dari perdamaian itu sendiri. Gila lu ndro..!!.
Akhirnya, setuju maupun tidak, kita harus mengakui bahwa perdamaian kini menjadi paradoks. Karena perdamaian kemudian dimaknai dengan beragam situasi kondisi dari individu masing-masing. Kondisi tersebut sangat jauh dari spirit etika Kantianism yang sangat menekankan pentingnya sikap siap rugi saat mengambil keputusan. Tapi dari kerugian itu, kita harus menjauhkan pula sikap peduli pada kepentingan orang lain. Dari sinilah kita belajar bahwa rela berkorban untuk kepentingan yang lebih luas, mungkin bisa saja kepentingan Tuhan, negara, atau apalah. Tafsirkan sendiri.!!!. read more

MILK AL-YAMIN bukan MILK AL-YASAR

Dr. Arif Chasanul Muna, M.A

Bagi kita yang masih menganggap hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber otoritatif, maka saat membaca hadis Sahih al-Bukhari yang terdapat dalam kitab Mukhtashar ibn Abi Jamrah (yang banyak dibaca di Pesantren Nusantara) justru menjelaskan sebaliknya, berikut hadis:

أيما رجل كانت عنده وليدة – أي أَمَةٌ – فعلَّمها فأحسن تعليمَها، وأدَّبَها فأحسن تأديبها ثم أعتقها وتزوَّجها فله أجران read more

Menuju Jalan Tuhan Melalui Guru Tasawuf: Bukan ‘guru’ Google

Oleh: Fairuz Rosyid, M.Pd

Di saat kehidupan bersosial tak lagi mementingkan inti kebijaksanaan alih-alih mengutamakan emosi maka upaya melepaskan diri dari lingkaran setan tersebut adalah mencari Guru Pembimbing menuju Tuhan (Mursyid). Post truth era dan era digital adalah perkawinan sempurna antara teknologi, mesin dan emosi. Keduanya melahirkan peradaban baru yang memarjinalkan peran nurani manusia, dimensi ruh. Dimensi akal-empiris dan nafsu-emosi adalah penyakit jika absen kelembutan nurani. Maka benar seruan Nabi yang terangkum dalam Shahihain,
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Jika hati sehat, sehatlah seluruh tubuh. Namun, tatkala hati rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Paham post-truth dengan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan melalui isu-isu sensitif. Nafsu emosi seolah menjadi akhlak tercela yang menjangkiti masyarakat sosial saat ini. Misalnya saja kasus Pemilu 2019 yang telah melahirkan banyak berita palsu dan perilaku amoral pendukung kandidat adalah wujud nyata dari hati yang rusak.
Hal ini tak sulit untuk dilacak klik di mesin pencari google akan banyak media yang memberitakan. Google menjelma menjadi ‘all-alamah’ (guru mulia) yang menyediakan banyak informasi. Orang lebih suka untuk searching jawaban di search engine google daripada mencari jawaban kehidupan kepada ahl dzikir (Guru Tasawuf).
Tak dapat disangkal sang guru google dewasa ini memberikan kemudahan. Akan tetapi layanan google hanyalah perangkat mesin pengolah data. Sesuatu yang tak ber-ruhani (tak memiliko jiwa), tak dapat memberikan bimbingan, tak dapat mengobati hati yang tentu saja memiliki cara kerja sendiri. Sesuatu yang ajaib dan terjadi tidak seperti algoritma internet.
Dalam mengobati hati dibutuhkan seorang guru Tasawuf yang sering di sebut sebagi Mursyid. Dalam ajaran tasawuf Mursyid berperan memperbaiki hati (fasadat) supaya kembali berfungsi dengan baik (sholuhat). Alasan penting kenapa Murayid serta menta’ati Jalannya (Tarekat) adalah hal fundamental di era post truth ini dijelaskan oleh Dr. Javad Nurbakhsh di dalam buku Warisan Sufi (jilid satu), seorang Pemimpin Tarekat Sufi Nimatullah tahun 1991 di London, Inggris, sebagai berikut.
Pertama, cinta Tuhan. Melalui kepasrahan kepada perintah Mursyid (Syaikh), seorang murid dapat terkoneksi dengan Tuhan. Dengan demikian memungkinkan sang murid untuk mencercap cinta Tuhan.
“Jalan pengembaraan dan kemanuan metodis di atas Jalan [tarekat], Sufi begitu pasrah [taslim] jatuh cinta pada guru spirutualnya [Syaikh], yang kemudian mengubah cinta ini dengan cinta ilahi [atas ridha Syaikh]… Sufi memulai pencarian guru spiritual, yang menggenggam di tangannya lentera Pencari Kebenaran; kemudian sang guru Mursyid (Syaikh) menghidupkan nyala lentera dengan napas ruh sucinya sendiri, yang menyebabkan Sufi terbakar oleh cinta Ilahi.”
Sehingga, kehidupan era post truth yang kering dan ampang (jawa, kosong) dapat diatasi dengan kebutuhan nurani yang disebut cinta (hubb).
Kedua, Seruan untuk menyembah Tuhan. Seorang Mursyid (Syaikh) sejati tidak akan memanfaatkan muridnya demi kepentingan pribadi. Justru muridlah yang sangat membutuhkan bimbingannya.
“Para Guru Jalan (Syaikh Tarekat) menyeru murid-muridnya kepada Tuhan, bukan pada diri mereka sendiri. Tujuan mereka adalah untuk membebaskan murid-murid dari penyembahan-diri dan penyembahan pada orang lain, dan membimbing mereka menuju penyembahan Tuhan semata (‘Abid), bukannya menarik yang lain kepada mereka demi tujuan pribadi atau melalui pamer keajaiban dalam rangka menambah penghidupan untuk diri mereka sendiri.”
Nilai penting Musryid (Syaikh) adalah bimbingannya untuk mengantarkan sang murid kepada kebahagiaan. Jika hati rusak yang merajalela di era post truth dengan bimbingan inilah seorang Mursyid (Syaikh) akan meperbaikinya.
Ketiga, Keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan. Tak ada satu pun Mursyid (Syaikh) yang memerintah murid untuk menggantungkan kebutuhan hidupnya kepada makhluk. Justru Mursyid (Syaikh) senantiasa mengharapkan muridnya menjadi orang mandiri yang sukses.
“Guru Jalan Sufi [Syaikh Tarekat] yang agung menekankan pentingnya untuk memiliki sebuah pekerjaan, dan mereka sendiri melibatkan dalam perdagangan yang mendorong murid-murid mereka untuk mencontoh tindakan kegigihan mereka.”
Di era post truth dan persaingan seperti sekarang ini, seorang murid akan senantiasa husnudzon dan bersemangat untuk meraih yang terbaik. Hidupnya selalu berpikir positif dan tak ada kehawatiran.
Keempat, Pelayanan kepada sesama dan mencintai umat. Syaikh tak ridha jika muridnya tak berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Sufi berada di bawah bimbingan Syaikh untuk senantiasa menebarkam cinta dan kebaikan untuk sesama dengan kapasitasnya masing-masing.
“Para guru Sufi pada dasarnya berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling memguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung kualitas-kualitas manusia.”
Ahirnya, nafsu emosi yang mendominasi di era post truth dapat diobati melalui bimbingan Syaikh. Kehidupan sosial yang saling terkoneksi dengan didasari cinta kasih itulah yang diberikan oleh Sufi, yang absen dari kehidupan bersosial kita.
Keempat hal ini seyogyanya menjadi alasan kuat bagi kita untuk menemukan pembimbing sejati yang akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang berbahagia. Melewati segala macam perubahan zaman dengan tetap istiqamah di atas jalan Islam yang menebarkan kasih bagi semesta raya. Bukan Islam yang menebarkan teror dan ketakutan bagi sesama manusia. read more

Sufism Millenial: Menuju Ekonomi Berperadaban

Oleh: Luthfi Maulana, M.Ag

Sufism Millenial merupakan dua istilah gabungan Sufism dan millenial. Sufism diartikan sebagai sebuah usaha untuk menemukan cara menuju Tuhan, sedangkan millenial adalah generasi era 80-90an. Generasi millenial sering disebut sebagai digital generation yang cenderung berani, inovatif, kreatif, modern dan individualis, sehingga generasi ini banyak berperan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial politik, dan IPTEK.
Keberhasilan peran generasi millenial dalam berepan aktif pada ranah domestik maupun publik tidak terlepas dari kemajuan teknologi komunikasi atas kemajuan global village. Sehingga generasi ini dapat merasakan kedekatan antara satu dengan yang lain dalam sebuah lingkaran connection internity, cara ini jelas berpengaruh dan mengubah cara berkomunikasi serta berinteraksi hingga mengubah mindset dan pengalaman manusia, mengikat dunia menjadi satu sistem, baik politik, sosial, budaya dan ekonomi. Sehingga generasi ini cenderung melahirkan perubahan ketergantungann masyarakat terhadap teknologi.
Namun tak bisa dipungkiri, saat ini peran generasi millenial sangat penting dalam segala aspek kehidupan saat ini, terlebih dalam bidang ekonomi. Saat ini, ekonomi adalah indikator kemajuan dari seluruh aspek kemajuan. Tanpa ekonomi, perubahan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi hingga politik, sosial dan budaya tidak akan berubah sedemikian itu. Aspek terbesar yang berperan dalam mengubah seluruhnya ialah aspek materiil (ekonomi), sehingga pola ini melahirkan timbal balik tujuan dari ekonomi menuju ekonomi. Kok bisa? La iya kan awalnya dari dukungan ekonomi dapat mengembangkan seluruh aspek, lalu tujuan lain pengembangan itu untuk kepentingan ekonomi kapital dan materi.
Begitulah adanya, keadaan saat ini generasi millenial sudah semakin mendominasi diberbagai jagat kehidupan terutama pada aspek ekonomi, baik ekonomi domestik maupun publik. Namun amat sangat di sayangkan, keadaan kita sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, masih berada di bawah bayang-bayang klausa keterjajahan. Terjajah karena tuntutan kebutuhan ekonomi, terjajah karena faktor tuntutan pekerjaan (ekonomi), hingga terjajah akibat terjerat keringat dan air mata yang harus dilakukan, namun upah yang dihasilkan tak seberapa dengan resiko kematiannya (ekonomi). Mati terpenjara karena tak berkutik lagi, dan mati terpenjara di bawah bayang-bayang para penguasa kapitalnya masing-masing.
Kapital di era millenial bukan lagi sebuah cerita warisan kolonialis, namun nyata terhegemoni akibat gerusan arus globalisasi yang menghasilkan generasi-genarasi kini cenderung egosentris untuk kepentingan sendiri, tanpa melirik kanan kiri apa penyebabnya? Semuslimkah? Atau sesama manusiakah? Apalagi untuk alamnya? Sangat jauh dibenak pikiran, hingga boro-boro mau meng-visikan kesejahteraan bagi peradaban umat Islam saat ini. Yang kaya makin gemerlang dengan segala gaya-nya dan pamer ala-ala warisan kolonialis kapitalis, dan yang tidak punya hanya bisa mengeluh tentang kekhawatiran hari esoknya, hanya dengan dalih-dalih motivasi dan harapanlah mereka menumbuhkan semangat dirinya untuk bisa menatap para teman sebaya muslimnya yang menjelma bak manusia millenial saat ini dengan beragam fasilitas gerusan virus hedonisme. Ya begitulah kiranya yang terjadi, ajaran esoterik Islam (tasawuf) yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesejahteraan hanya sebatas ajaran, bahkan tren tasawuf hanya sebatas menjadi sufisme Urban dengan beragam gaya barunya, tanpa menjalankan esensi esoterik dari tasawuf itu sendiri (hablumminallah menuju hablum-minannas dan hablumminal alam).
Hal ini tentu amat memprihatinkan, gerusan hegemoni-hegemoni kolonialis terus dipertontonkan demi egosentris kekayaan materi, baik dari ekonomi industri perumahan (home industri kecil) hingga beragam industri lainnya. Sehingga keadaan yang terjadi, saling sikut dan jegal tak lagi sebuah perkara yang tabu. Namun sudah bagian tradisi dengan dalih economic modernity.
Hal ini membuktikan, bahwa Islam seakan-akan bukan lagi sebuah pedoman yang harus diaplikasikan, bukan lagi ajaran yang harus dicontohkan tentang visinya perihal kesejahteraan dan keadilan, namun Islam hanya agama yang dianut dari sisi syari’at kepada Tuhan, tanpa menjalankan amanat Tuhan melahirkan Islam humanis (human sosial) yang berperadaban, berperikemanusiaan, dan berperikeadilan bagi sesama muslim dan sesama umat manusia. Seluruhnya pasti akan terbantahkan dengan dalih profesionalis ekonomic modernity dan kemajuan global. Padahal dibelakang itu ada keinginan nafsu yang menggebu-gebukan harta, tahta dan kepentingan kekayaan.
Maka sebab itulah, Sufism Millenial perlu digairahkan kembali di tengah kita, jalan usaha menuju Tuhan yang selama ini hanya digerakkan sebatas menjalankan syari’at Islam, perlu lebih ditingkatkan pada aspek esoterik menuju Tuhan untuk menjalankan konsep perintah ajaran Islam dalam hal hablumminallah, hablumminnas hingga hablummninal alam.
Dalam ranah ekonomi Islam berperadaban, maka hal yang perlu diperhatikan ialah menyadari bahwa dalam harta kita, ada hak bagi harta orang lain yang membutuhkan, dalam konsep kemajuan ekonomi juga ada kawan saudara seiman yang sama-sama ingin menjalankan pemkembangan ekonominya. Jadi kesemua itu perlu dibangun untuk mewujudkan Islam yang mendengung-dengungkan misi peradaban demi terlahirnya kesejahteraan sesama umat Islam. Dalam hal ini, menjalankan kemajuan tanpa menjatuhkan (saling berbagi menuju kesuksesan bersama) dan menyadari seluruh apa yang bisa dinikmati adalah pemberian Allah yang perlu dibagikan kepada orang-orang sekitar yang membutuhkan, karena sebagian harta kita adalah rezeki mereka yang diberi Allah lewat jalur (wasilah) kita, maka hal-hal semacam ini adalah keharusan yang mau tidak mau harus dilakukan. sehingga mewujudkan peradaban ekonomi Islam bukan lagi sebuah cita-cita fiksi dari sebuah perintah, namun dapat terwujudkan, sebagai bentuk menghargai tajalli Allah pada setiap makluk sesamanya, dan bagian dari jalan menuju jalan yang Allah perintahkan.
Wallahuaklambissowam, read more