Membumikan Al-Quran Dengan Meng-Quranikan IPTEK (Sebuah Kerangka Falsafi dalam Memahami al-Quran)

Shinta Nurani, M.A

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian disingkat IPTEK, merupakan dua hal pokok serta tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Semua peradaban dunia mengenalnya, bahkan agama pun juga sangat memperhatikan kedua hal ini. Hal ini dapat ditinjau dari segi pengulangan penyebutan keduanya di dalam Alquran dengan berbagai derivasi maknanya.
‘Ilm secara lughawi berarti kejelasan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilmu pengetahuan pada zaman sekarang lebih akrab dikenal dengan sains (Shihab, 2013: 574). Dalam Alquran terulang 854 kali dengan berbagai bentuknya. Alquran memandang ilmu ialah keistimewaan yang menjadikan manusia paling unggul dibandingkan dengan makhluk lainnya, sehingga manusia diberikan amanah untuk menjadi khalifah di bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 31-32:
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.”
Sedangkan kata teknologi diartikan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan manusia (Pusat Bahasa, 2008: 1422). read more

Hunain ibn Ishaq: Penerjemah Ensiklopedis dan Dokter Klinik

Dr. Barakat Murad, akademisi asal Mesir

Pasca pembebasan (penaklukan) besar-besaran dalam sejarah Islam selesai, bangsa Arab giat menfokuskan perhatiannya di bidang ilmu pengetahuan; mereka menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia, dan India. Di sinilah orang-orang Kristen dan Yahudi memainkan peran penting menyukseskan kerja terjemah, salah satu penerjemah terkemuka adalah Hunain ibn Ishaq.

SETELAH satu abad setengah kemunculan Islam, dua kota besar, Baghdad di bawah naungan dinasti Abbasiyah dan Cordoba di bawah naungan dinasti Umayyah, menjelma pusat studi ilmiah internasional khususnya di bidang kedokteran. Beberapa dokter di masa dinasti Umayyah di antaranya adalah: Ibn Wahsal dan Abu Hakim Al-Dimasyqie. Adalah Abu Washal adalah kristiani dan menjabat sebagai dokter pribadi khalifah Umayyah pertama, Muawiyyah ibn Abi Sufyan. Washal ahli di bidang anti biotik racun. Di masa Muawiyah banyak pembesar meninggal dengan cara tidak wajar, dikabarkan saat itu Washal menemui ajalnya dalam sebuah peristiwa pembunuhan karena dendam. Dokter lain beragama Kristen di masa dinasti Umayyah adalah Abu Hakim Al-Dimasyqie. Al-Dimasyqie ahli ilmu bius dan menjadi penasehat untuk khalifah Yazid ibn Muawiyah. Gerakan terjemah Arab di masa dinasti Umayyah dimulai pada masa khalifah Khalid ibn Yazid yang menaruh perhatian di bidang kimia klasik dan banyak memanfaatkan sumbangsih para filsuf Yunani yang masih hidup di Mesir. Kkhalifah memberi mereka imbalan atas jasa menerjemahkan buku-buku kimia, kedokteran, dan astronomi. Seorang Jabir ibn Hayyan (ahli kimia) sempat semasa dengan salah-satu ahli kimia Arab pada masa khalifah Khalid. Jabir adalah ahli praktikum kimia dan penemu pertama air raksa. Keadaan yang sama juga terjadi di Baghdad yang dijadikan Al-Mashur sebagai ibu kota pertama dinasti Abbasiyah. Saat itu Baghdad menjadi poros ilmu pengetahuan. Baru pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (abad ke-9) disinyalir sebagai masa keemasan paling terkenal dalam sejarah orang-orang Arab, sebuah masa paling agung dalam perjalanan sejarah mereka. Suatu hari diriwayatkan khalifah pertama Abbasiyah meminta dokter Abu Yusuf menyeleksi kemampuan para dokter, tujuannya melarang praktek dokter gadungan yang tidak lulus seleksi. Hasilnya, dokter lulus seleksi sebanyak 860 orang, sedang ratusan lainnya terbukti gadungan dan terpaksa dibuang. Khalifah Al-Manshur sendiri pernah memanggil secara resmi dokter asal Suria yang juga sebagai ketua rumah sakit Jundisphur, Georgius ibn Gabriel, untuk bekerja sebagai dokter pribadi khalifah. Dari generasi ke generasi, keturunan Gabriel melahirkan dokter-dokter terkemuka. Kesemuanya mengabdi di istana dinasti Abbasiyah selama tiga abad dan mendapat tempat termulia serta menikmati gaji besar melebihi gaji pembesar khalifah dan para menteri. Selain sebagai dokter, anak turun Georgius ibn Gabriel juga sibuk menerjemah buku-buku Yunani dan tidak sedikit dari mereka menulis buku kedokteran sendiri. Sosok Youhanna ibn Mashu’ dikenal sebagai dokter pada masa khalifah Harun Al-Rasyid. Atas permintaan dari khalifah, Youhanna tekun menerjemah buku-buku kedokteran Yunani hasil pembelian langsung khalifah dari Byzantium. Yohanna juga menulis sejumlah buku-buku kedokteran, karya-karya Youhanna meliputi al-Hummayyat (Penyakit Demam), al-Taghdiyyah (Konsumsi Makanan), al-Shudâ’ (Sakit Kepala)`Aqm al-Nisâ’ (Masalah Keperempuanan). Khalifah Al-Mu’tashim Billah, penganti Harun Al-Rasyid, menaruh perhatian besar terhadap karya komentarYouhanna sampai-sampai khalifah menyediakan ruangan khusus agar Youhanna nyaman bekerja. Nama Hunain ibn Ishaq tetap satu-satunya penerjemah besar dalam sejarah Arab yang menguasai banyak bahasa, di antaranya: Suryan, Yunani dan Arab. Hunain banyak menghasilkan terjemahan buku-buku filsafat dari bahasa Yunani. Selain Hunain, masih banyak lagi penerjemah, penulis sekaligus filsuf besar di masa Hunain. Misalnya Tsabit ibn Qurrah yang menulis sejumlah buku kedokteran, filsafat, dan ilmu astronomi. Selain itu, ada Qista ibn Lukas —hidup sezaman dengan Al-Kindi (filsuf Islam pertama)— sebagai spesialis penerjemah bahasa Sansekerta ke bahasa Arab. Qista ibn Lukas pernah menerjemah buku tentang obat racun karya dokter India, Syanaq. Siapa Hunain ibn Ishaq? Nama lengkapnya Abu Yazid Hunain ibn Ishaq Al-Ibady (193 H – 260 H/873 M). Hunain dikenal sebagai penerjemah besar, paling tersohor, dan di masa dinasti Abbasiyah dijuluki sebagai gurunya penerjemah (syaikh al-mutarjim). Hunain lahir di Hirah, Iraq. Ayahnya pengikut aliran Kristen Nestor dan bekerja sebagai pegawai apotik. Bahasa ibunya adalah Suryan. Guru pertamanya adalah dokter Yahya ibn Masaweh. Selama diajar Masaweh, Hunain menilai sang guru terlalu ketat sehingga membuatnya pergi berkelana beberapa tahun yang dimanfaatkan untuk belajar bahasa Yunani yang tidak dikuasai gurunya. Beberapa tahun kemudian Hunain pindah ke Bashrah, Irak, dan bergabung di salah satu institusi besar ilmu bahasa Arab. Di sinilah Hunain belajar bahasa dan gramatika Arab di bawah bimbingan salah satu ahli bahasa Arab terkemuka, Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi. Ibn Nadim dalam buku al-Fihris dan Ibn Abi Asyibah dalam buku Akhbâr al-Hukamâ’ menyebut: Hunain ibn Ishaq mengusai empat bahasa: Arab, Suryan, Yunani dan Persia. Dalam kunjungannya ke Romawi, Hunain manfaatkan belajar kedokteran, mendalami bahasa dan sastra Yunani sampai benar-benar menguasai, kemudian kembali ke Bashra, belajar bahasa Arab di tangan Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi. Hunain menekuni bidang kedokteran bersama Youhanna ibn Masaweh, mengabdi di istana Al-Makmun, Al-Mu’tashim, Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil, ia juga mengabdi pada anak-anak keturunan Musa ibn Syakir. Keahlian Hunain adalah menerjemah buku-buku Yunani, dan senang berkelana ke pelosok negeri demi mendapatkan manuskrip buku. Ambil contoh misalnya, buku al-Burhân karya Galen sangat jarang ditemukan pada abad ke-3 H, namun Hunain berhasil mendapatkannya setelah menjelajah ke penjuru Iraq, Syam dan Mesir. Namun sayang, Hunain baru mendapat separuh isi buku, separuh lainnya berhasil ia dapat setelah mencarinya di Damaskus. Karena kecintaannya terhadap ilmu begitu besar dan gemar memburu buku sampai ke pelosok-pelosok negeri, khalifah Al-Makmun mempercayakan Hunain menjabat sebagai direktur Baitul Hikmah, dan secara khusus khalifah memberikannya dana insentif begitu besar. Saking besar gaji Hunain, Ibn Abi Asyibah meriwayatkan: setiap hasil terjemah buku Hunain ditimbang dengan bobot emas, karenanya kebiasaan Hunain menulis teks terjemah dengan huruf tebal dengan penjelasan (syarah) di bawahnya cukup panjang dan ditulis di atas kertas yang tebal pula, untuk menambah beban timbangan buku. Sebelum itu, Hunain bekerja pada Gabriel ibn Bakhtisyu, salah satu keluarga Bakhtisyu yang sudah mengabdi sebagai dokter di istana khalifah Al-Makmun. Al-Makmun menginstruksikan Hunain menerjemah buku-buku kedokteran Yunani ke dalam bahasa Arab dan bahasa Suryan, ketika itu dalam usia 17 tahun Hunain menerjemah buku Galen tentang Ashnâf al-Hamiyyât (Macam-macam Demam), kemudian buku al-Quwâ al-Thabî`iyyah (Dorongan-dorongan Natural) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Suryan. Patut digarisbawahi bahwa Hunain ibn Ishaq setelah menjabat sebagai direktur Baitul Hikmah yang dibangun pada th. 215 H/830 M, banyak membantu para penerjemah muda dari bahasa Yunani ke bahasa Suryan, lalu diteruskan dengan menerjemahkannya ke bahasa Arab. Hunain telah menerjemahkan tujuh karya Hippokrates. Diriwayatkan Hunain juga telah menerjemahkan seluruh karya-karya kedokteran Galen, dan beberapa karya komentar Galen untuk Hippokrates. Berkat kerja keras Hunain, nama Galen sangat tersohor di mata para pemikir abad pertengahan Islam dan Kristen. Semua itu berkat terjemahan versi Arab buku Medica Materia karya Dioscoridesx. Terjemahan ini bukti perhatian besar bangsa Arab terhadap dunia kedokteran, di mana perhatian ini bukan berhenti di level penerjemahan tapi juga dilanjut dalam tahap berkarya sendiri. Hunain dan para penerjemah Kristen, Suryan dan Yahudi, pantas dijadikan contoh dalam hal toleransi agama Islam dan kaum muslimin dalam berinteraksi dengan umat agama lain. Bahwa Islam dan kaum muslimin memberi peluang sebesar-besarnya kepada siapapun dalam menentukan karirnya di politik, ilmiah dan sosial, juga pengalaman itu menunjukkan tidak ada warga mulia kecuali karena taqwa dan amal baiknya. Praktek di atas menunjukan bahwa kaum muslimin tidak fanatis hanya untuk bangsa Arab dan pemeluk agama Islam saja, terbukti banyak orang kristiani, Suryan, dan Yahudi menduduki jabatan tinggi di masa dinasti Abbasiyah di Arab-Timur (Masyriq), sebagaimana banyak di antara mereka pula menikmati kursi birokrasi dalam administrasi pemerintahan dan dunia akademik di masa dinasti Umayyah di Arab-Barat (Maghrib) dan Andalusia, Spanyol. Para Penerjemah Terkemuka Hunain ibn Ishaq merupakan penerjemah tersohor di Baghdad pada abad ke-9 M dan paling banyak karya terjemahannya. Setelah masa-masa awal belajar di Baghdad, Hunain merantau ke Byzantium dan Alexanderia, Mesir. Sekembalinya merantau, Hunain menguasai bahasa Yunani dan menjadi penerjemah lepas; hal yang sama dilakukan oleh anak-anak Musa ibn Syakir. Hunain menerjemahkan buku-buku kedokteran, filsafat, astronomi, matematika, dan sihir. Hunain juga memberi kesempatan kepada anaknya, Ishaq ibn Hunain, saudarinya, Hubaysh ibn Al-Hasan, dan para pendeta Kristen lainnya untuk melakukan kegiatan terjemah serupa. Namun, di antara semua penerjemah di masa itu, hanya Hunain ibn Ishaq yang betul-betul menguasai bahasa Yunani, karenanya Hunain kadang menerjemahkan buku Yunani ke dalam bahasa Suryan dan kadang pula menerjemahkan langsung ke dalam bahasa Arab. Ishaq dan Hubaysh (anak dan saudari Hunain) sering menyerahkan hasil terjemahannya kepada Hunain untuk diperiksa dan dievaluasi. Dengan demikian Hunain secara tekun memantau kinerja anak didiknya bertahun-tahun. Dan hasilnya cukup baik, terbukti Hubaysh menjadi penerjemah hebat untuk istilah-istilah kedokteran, terkadang ia bersama teman-temannya menjadi penanggung jawab terjemah istilah-istilah filsafat dan matematika dalam karya-karya Aristoteles. Hunain mengumpulkan daftar karya-karya Galen yang berserakan pada masa itu kemudian merapikan serta menyusun drafnya mencapai 100 draf. Semua buku Galinus tersebut selanjutnya ia terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Arab dan Suryan. Selain karya terjemah di atas, Hunain juga menerjemahkan karya-karya Hippokrates dan karya dokter-dokter Yunani lainnya. Hunain juga menulis buku tentang mata, karakter sinar dan buku kimia. Orientalis Donald R. Hill dalam buku al-`Ulûm al-Handasiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah (Ilmu-ilmu Arsitek dalam Sejarah Islam) memberi komentar: Hunain di samping perannya sebagai penerjemah terkemuka, ilmuan dan guru berjasa, tak pelak kerja kerasnya telah memberi sumbangsih besar terhadap kemajuan peradaban Arab, khususnya dalam hal mencipta istilah-istilah teknik kedokteran dalam bahasa Arab dan bahasa Suryan. Hunain sangat teliti setiap detail terjemahan, bersama rekan-rekannya Hunain begitu cermat menkomparasi teks-teks terjemah serta menkajinya secara hati-hati, hasilnya Hunain tidak canggung membuang terjemahan yang salah. Secara tidak sadar dengan cara ini Hunain telah merintis sebuah metode terjemah untuk para penerjemah setelahnya. Dokter Mata Karangan terpopuler Hunain ibn Ishaq adalah `Asyr al-Maqâlâtfî al-`Uyûn (Sepuluh Essai tentang Mata), ini adalah kitab paling tua yang membahas penyakit mata. Buku ini sudah diterbitkan oleh Max Meyerhof (ماكس مايرهوف) yang sudah dikaji dan dikomentari. Ini adalah kitab klasik yang menjelaskan tentang kesehatan mata dengan susunan metodis dan mendidik, berikut disajikan dengan gambar mata. Orientalis Max Meyerhof secara khusus menkaji pengaruh buku ini terhadap dunia kedokteran di Eropa. Dalam pengantar bukunya, Hunain menbeberkan bahwa apa yang ditulis dalam buku `Asyr al-Maqâlât fî al-`Uyûn adalah hasil pengalamannya selama 30 tahun menkaji kesehatan mata. Kreasi Hunain tentang istilah-istilah kedokteran dalam bahasa Arab juga masih dipakai hingga saat ini. Seperti: al-Syabîkah (Retina), al-Shulbah (Sclera), al-Multahimah (Conjunctiva), al-Qarniyah (Cornea), al-Musyaymiyah (Placental), dilengkapi dengan penjelasan arti dari bahasa Yunani yang detail serta menggunakan susuan kalimat bahasa Arab yang jelas, oleh karenanya warisan kamus Hunain ini dapat menyatuhkan sekaligus menjadi rujukan bagi para penerjemah di zamannya dalam bidang istilah-istilah kedokteran bahasa Arab yang sebelumnya “semerawut”. Selain karya di atas, Hunain memiliki karya di bidang kedokteran yang tak kalah penting, yaitu buku Fî Ikhtiyâr Adwiyah al-`Ayn (Cara Memilih Obat Mata), Kitâb al-Ramad (Buku Tentang Penyakit Mata), al-`Ayn au al-Hujjah (Mata atau Hujjah), ditulis untuk kedua putranya Daud dan Ishaq, dan masih banyak karya-karya lain. Hunain juga memiliki tulisan-tulisan ringan lainnya misalnya: Tuhfah al-Awliyâ wa Dzakhîrah al-Athibbâ’ (Buku untuk Para Wali dan Harta untuk Para Dokter), Imtihân al-Athibbâ (Tes Seleksi Para Dokter), al-Nikâh (Nikah), Fî Man Yûladu fî Tsamâniyah Asyhur (Tentang Orang Lahirkan Dalam 8 Bulan), buku tentang Fî anna al-Thabîb al-Fâdhil Lâbudda an Yakûna Filsûfan (Dokter Baik Harus dari Seorang Filsuf), Aujâ’ul al-Ma`iddah (Sakit Lambung), Fushûl Hunain ibn Ishâqfî Asyribah Mukhtârah (Penjelasan Hunain ibn Ishaq Tentang Minuman-minuman Tertentu), Fî Tadbîr al-Shihhah fî al-Math’am al-Masyrab (Cara Menjaga Kesehatan lewat Makan dan Minuman), Fî al-Bafûl wa Hawâsyîhâ (Seputar tentang Air Baful), Maqâlah fî Mâi al-Bafûl (Essai Air Baful), al-Fawâkih wa Manâfi’ihâ (Buah-buahan dan Berbagai Manfaatnya), fî Ishlâh al-Mâ’i al-Jubun al-Nâfi`ah wa Mâ Yusta’malu Minh-u (Cara Memperbaiki Air Beku yang Bermanfaat dan Prihal Kegunan Air Tersebut), Kitâb fî al-Aghdiyah (Buku tentang Makanan), al-Farq bayn al-Ghadâ’ wa al-Dawâ’ al-Mushil (Perbedaan antara Makanan dan Obat yang Menyembuhkan), Maqâlah fî Tawallud al-Hishâh (Essai Tentang Munculnya Batu-batu), Hunain juga memiliki ensiklopedi nama-nama dokter dalam sejarah Târîkh al-Athibbâ (Sejarah para Dokter-dokter). Hunain memiliki buku daftar obat, seperti Asmâ’ al-Adwiyah al-Mufarradah `Ala Hurûf al-Mu`jam (Nama-nama Obat Berdasar Huruf Kamus), Fî Asrâr al-Adwiyah al-Murakkabah (Rahasia Obat-obat Racikan), al-Adwiyah al-Muharraqah (Obat-obat yang Membakar), Khawâs al-Adwiyah al-Mufarradah (Keistimewaan Obat-obat Tertentu), Aqrabâdzayn (Pharmacopeia), dan kitab paling penting Fî Hifdzal-Asnân wa al-Litsah wa Istishlâhihâ (Cara Menjaga Gigi dan Gusi dan Cara Pengobatannya). Karya-karya lain Hunain meliputi, Mukhtashar fî Târîkh al-Kîmîyâiyîn (Ringkasan Sejarah Para Ahli Kimia), Maqâlât (Essai-essai), al-Sabab min Ajlihi Shârat Miyâh al-Bahr Mâlihah (Tentang Sebab yang Membuat Air Laut Menjadi Asin), Fî Tawlîd al-Nâr bayn Hajarayn (Tentang Munculnya Api dari Dua Batu), dan risalah-risalah pendek seperti Fî al-Dhawi wa Haqîqatihi (Tentang Sinar dan Hakikatnya), al-Awzân wa al-Akyâl (Timbangan dan Kilo), Muqtathâfât min Risâlah al-Mudznibât (Beberapa Essai tentang Pelaku Dosa), Alfâdz al-Falâsifah fî al-Mûsîqâ wa Nawâdîr Falsafiyah (Kata-kata Filsafati dalam Musik dan Keindahan Filosofis), al-Qawl fîmâ Yastajîbumin Syuhûr al-Sanah (Prihal Hal yang Disunahkan dan yang Tidak dalam Bulan dalam Setahun), Majâlis al-Hukamâ( Forum Para Filsuf), Ijtimâ’ât al-Falâsifah fî Bayt al-Hikmah fî al-A’yâd wa Tafâwudl Baynahum (Perkumpulan Para Filsuf di Baitul Hikmah dalam Hari-hari Besar untuk Bermusyawarah di antara Mareka), Âdâb al-Falâsifah (Etika Para Filsuf), Kitâb fî al-Manthiq (Buku Logika), Kitâb fî al-Nahw (Buku Gramatika Bahasa Arab), dan karya-karya terjemahan Hunain dari buku Galen, Hippokrates, Pedanius Dioscorides, Aristoteles, Euclides, Apollonius, Ptolemaeus, dan karya dokter-dokter Yunani lainnya. Mendalami Filsafat Konsentrasi Hunain ibn Ishaq tidak terbatas di bidang kedokteran saja, melainkan merambah ke filsafat, matematika dan ilmu-ilmu lain. Khalifah Al-Makmun mempercayakan Hunain menerjemah buku-buku Aristoteles, maka Hunain pun melakukan pekerjaannya dengan baik. Ia juga menerjemahkan beberapa karya Plato, Archimedes, Euclides, Menelaus, dan Theodosius. Dalam hal ini, Hunain melakuan koreksi karya-karya terjemahan pada masa khalifah Al-Manshur dan khalifah Harun Al-Rasyid. Seperti mengoreksi terjemahan Hujjaj terhadap karya Ptolemaeus al-Majisthî (Almagest), kemudian mengoreksi terjemahan Petrick terhadap karya Ptolemaeus juga yang berjudul al-Arba` Maqâlâtfî Shinâ`ah Ahkâm al-Nujûm (Empat Essai tentang Astronomi). Di masa khalifah Al-Makmun, Hunain juga menerjemahkan kitab suci Yahudi, Taurat, secara lengkap berdasar dari terjemahan Taurat Suptuagint. Sebagai catatan, terjemahan Suptuagint merupakan edisi terjemahan Taurat tertua dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebanyak 70-72 penerjemah antara tahun 130-280 SM. Dokter Gigi Karya Hunain ibn Ishaq,Fî Hifdz al-Asnân wa al-Litsah wa Istishlâhihâ, merupakan buku pertama di Arab tentang kesehatan gigi. Keunggulan buku Hunain menjelaskan cara mengobati sakit gigi dan seluruh isinya merupakan hasil pengalaman penulisnya selama bertahun-tahun. Buku Fî Hifdz al-Asnân wa al-Litsah wa Istishlâhihâ memiliki dua pemabahasan: pertama, membahas cara menjaga dan merawat gigi; kedua, membahas pengobatan gigi dan gusi disertakan petunjuk resep dan obat sakit gigi. Hunain mengawali pembahasan bukunya dengan kaidah-kaidah dasar tentang cara menjaga kesehatan bagi orang yang ingin merawat giginya. Di antaranya, menghindari makanan-makanan busuk sebab kotoran di dalam lambung dapat memberikan gangguan yang berimbas pada kerusakan gigi, selain itu harus menghindari mengunyah makanan-makanan keras, dan tidak kalah penting jika ingin gigi sehat harus rutin mengosok gigi dengan siwak/sikat. Prihal obat gigi atau dentifrice. Para dokter terdahulu meyakini bahwa setiap obat memiliki efek samping pada tubuh. Penting kiranya mengetahui dosis obat dan mengetahui bahan racikan dalam kandungan obat tersebut sehingga campuran dari racikan itu mengahasilkan obat yang manjur. Beberapa obat gigi di antaranya antibiotik nabati dari tumbuh-tumbuhan, dan mineral atau berasal dari hewan. Hunain memberi ringkasan bermanfaat tentang kesehatan gigi di zaman itu (abad ke-3 H) serta melampirkan pula gambar obat dan cara penyembuhan berikut tata cara penanganannya. Menariknya, Hunain bersandar pada logika ilmiah yang dikuatkan dengan pengalaman dan eksperimen ilmiah. Hunain sendiri menghindari praktek tidak empirik dan mengenyahkan sesuatu yang tidak logis. Pesan Hunain tentang cara menjaga kesehatan gigi di atas terbukti masih relevan di zaman sekarang. Gerakan terjemah merupakan kegiatan penting dalam sejarah peradaban Arab-Islam, bahkan menjadi pilar tak terpisahkan dalam sejarah peradaban itu sendiri. Bisa dikatakan gerakan terjemah adalah pilar asasi dan paling inti dalam peradaban Arab-Islam. Berkat gerakan terjemah, orang-orang Arab dapat mengakses buku-buku penting warisan beberapa peradaban tersohor di zaman dulu (Yunani, India, dan Persia) yang selanjutnya menjadi tonggak kemajuan bagi peradaban Arab-Islam itu sendiri. Hasil yang dicapai gerakan terjemah –khususnya pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah– tidak akan muncul maksimal kalau bukan karena interaksi dan persinggungan lansung dengan warisan peradaban klasik. Bahwa pemikiran Islam tidak serta merta mengemuka kalau bukan setelah proses pengkajian dan penelitian atas karangan filsuf-filsuf besar Yunani. Begitu pun peradaban Eropa tidak mampu berdiri kecuali berkat sumbangsih peradaban Islam, persisnya setelah Eropa menerjemahkan berbagai disiplin buku-buku Arab ke dalam bahasa mereka. Bangsa Arab telah mengembangkan eksperimen ilmiah baik secara teoritis maupun praktis yang berhasil mereka ambil dari peradaban Yunani, kemudian setelah melakukan investigasi dan analisa mendalam barulah mereka kembangkanwarisan itu dengan kreasi baru. Bangsa Arab menyuguhkkan peraktek penelitian ilmiah yang benar berdasar pada penelitian dan eksperimen ilmiah. Mereka menempuh pengkajian teori-teori, kaidah-kaidah dan gagasan-gagasan ilmiah dengan tetap mempertahankan kebenaran dari suatu teori serta mengoreksi beberapa teori yang terbukti salah, dan semua itu berjalan di atas atmosfir kebebasan berpikir yang cukup dinamis. Atas dasar ini bangsa Arab berhasil menikmati kemajuan ilmu-ilmu alam (al-`ulûmal-thabî’iyyah), terutama fisika dan kedokteran, dan secara tidak langsung meninggalkan pengaruh pada ilmuan-ilmuan Eropa seperti Roger Bacon, Leonardo Davinci, Willian Harvey dan ilmuan-ilmuan lain. *Diterjemahkan Imam Wahyuddin dari judul asli: Hunain ibn Ishâq: al-Mutarjim al-Mausû`ie wa al-Thabîb al-Iklînîkîe, yang dimuat di rubrik Turâts dalam majalah budaya “Al-Arabi” edisi 610, September 2009, hal. 145-149 (Publised by Ministry of Information – state Kuwait)

Agenda Filsafat Al-Ghazali


Imam Wahyuddin (Dosen Filsafat UGM)

Muhammad Abid Al-Jabiri dalam al-Turâts wa al-Hadâtsah memperlihatkan disiplin keilmuan Islam, termasuk di dalamnya filsafat, dibentuk melalui proses tidak netral. Ilmu lahir dalam konteks kekuasaan politik, di mana pihak penguasa selalu menyisipkan motif ideologis di balik usaha pembakuhan pengetahuan. Seolah-olah pengetahuan itu akademis dan ilmiah (epistemologis), padahal di dalamnya ada agenda politis (ideologis).
Pengalaman ini dialami Sang Hujjatul al-Islâm, Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111) saat menyerang filsafat peripatetik-iluminasi Abu Ali ibn Sina (980-1037). Dalam Tahâfut al-Falâsifah persoalan epistemologis filsafat tidak dapat dihindari dari motif politis-ideologis. Bantahan Al-Ghazali terhadap Aristoteles berdasarkan penuturan Ibn Sina, bertujuan untuk menekan dominasi ajaran Syiah Ismailiyyah yang berkembang di Persia.
Beruntung dua abad berikutnya, filsuf Andalusia Abu Walid ibn Rusyd (1126-1198) melalui Tahâfut al-Tahâfuti, mengoreksi setiap detail inkonsistensi Al-Ghazali. Dalam bantahannya, Ibn Rusyd atau di Barat dikenal Averroes menilai Al-Ghazali telah mencampuraduk filsafat dengan tafsiran teologis. Argumentasi Al-Ghazali dalam kritikannya terhadap filsafat, menurut Averroes, bukan kategori argumentasi demonstratif (burhânî) yang selazimnya digunakan dalam perdebatan filosofis.
Sanggahan Averroes dilakukan dengan objektif dan jujur. Averroes mula-mula memastikan karya terjemahan Aristoteles dengan menkomparasi pelbagai versi terjemahan bahasa Arab yang ada, termasuk versi Hunain ibn Ishaq yang dikenal pesohor penerjemah di era Al-Makmun. Langkah itu diikuti dengan mensarah (menulis komentar) karya-karya Aristoteles dalam tiga versi sekaligus: komentar panjang (lengkap), komentar sedang, dan komentar pendek.
Averroes kemudian menjelaskan cara berpikir Ibn Sina yang tidak sesuai dengan logika berpikir Aristoteles, bahwa yang dikutip Al-Ghazali yang kemudian dinisbatkan kepada Aristoteles sebenarnya merupakan pandangan atau tafsiran Ibn Sina yang sudah dipengaruhi neo-platonisme (Aflâthûn al-Jadîdah). Averroes melihat ini tidak tepat, Al-Ghazali menguliti Aristoteles bukan dari karya sang filsuf langsung melainkan dari tafsiran Ibn Sina.
Ketika Al-Ghazali menulis Tahâfut al-Falâsifah iklim persaingan dua mainstream Sunni dan Syiah tidak boleh dilupakan. Tujuan Al-Ghazali membantah Filsafat Timur (al-hikmah al-masyriqiyyah) Ibn Sina tidak lain untuk menihilkan epistemologi batinsme Syiah Ismailiyyah. Karya Al-Ghazali dapat dibaca dalam frame memanasnya sentimen ideologis antara Sunni dan Syiah. Bagaimanapun Al-Ghazali manusia biasa yang hidup dengan ideologi zamannya, hal biasa dilakukan seorang ilmuan saat berada di kekuasaan sebuah rezim.
Pengetahuan tidak pernah tampil telanjang ataupun jujur, pengetahuan selalu terkait dengan selera zaman atau selera pemilik kuasa. Al-Ghazali memanuhi tuntutan itu, membantu kekuasaan Sunni yaitu Nidzam Mulk untuk mendiskreditkan ajaran batinisme Syiah Ismailiyyah. Batinisme merupakan sistem pengetahuan yang didapat melalui pancaran esoteris, bukan melalui penalaran logis.
Termasuk karya Al-Ghazali Mi’yâr al-Ulûm yang menilai manthiq atau logika adalah instrumen untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Memang secara epistemologis Mi’yâr al-Ulûm dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi secara ideologis maksud yang diketengahkan Al-Ghazali dalam karya tersebut untuk menyerang sistem pengetahuan iluminatif yang berkembang subur di kalangan pengikut Syiah Ismailiyyah.
Pelajaran penting dari kisah sejarah di atas: bahwa pengetahuan selalu bergandengan dengan ideologi penguasa. Karena itu Al-Jabiri menginggatkan tentang pentingnya memilah dalam khazanah keilmuan Islam klasik antara unsur epistemologis yang merupakan core sebuah pengetahuan, di satu sisi, dan unsur ideologis yang merupakan tuntutan politis kekuasaan, di sisi lain. read more

Perjumpaan Tuhan: Jamaah Tarekat Syadiliyyah

Drs. Farid Mustofa, M.Hum   Perjumpaan berasal dari kata jumpa yang berarti dalam kelas nomina atau kata benda, sehingga perjumpaan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Perjumpaan juga dimaknai sebagai makna pertemuan antara satu subjek dengan subjek lainnya. Jika yang dimaksud adalah perjumpaan dengan Tuhan maka hal itu melahirkan pemaknaan terjadinya pertemuan seseorang (manusia) dengan Tuhannya yang Maha Kuasa, menciptakan dan Maha segalnya, atau bisa dikatakan pertemuan pencipta dengan yang diciptakan. William James (1902) dalam The Variates Of Religius Experience Centenary Edition a Studi in Human Nature menjelaskan tentang kasus perjumpaan Tuhan yang dialami oleh George Fox seorang Kristiani yang mendirikan aliran Quaker. James menjelaskan kisah Fox yang mengelami pengalaman berjumpa dengan Tuhan. Kisah Fox diawali dari kegelisahannya terhadap Krisiten Liberal, sehingga Fox berupaya untuk menggali kebenaran al-Kitab. Latar belakang inilah yang kemudian melahirkan semangat Fox untuk melakukan perjalanan spritual. Dalam tradisi tarekat, perjumpaan dengan Tuhan di maknai dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya memalui jalan-jalan kesucian melalui ibadah-ibadah kepada Allah melalui bimbingan para guru/syekh (Said, t.t.: 273), dengan bimbingan-bimbingan tersebut maka akan menghadirkan diri pada Allah dan berjumpa secara ruhiah dengan Tuhan (Allah) (Abudinnata, 2014: 234). Menurut Khairul (2019), perjumpaan dengan Tuhan bukanlah sebuah hal yang mudah di raih, berjumpa berarti melakukan pertemuan dan merasakan kehadirat Tuhan seakan akan hadir dalam diri kita. Dalam tradisi jamaah tarekat Syadiliyyah keberjumpaan kepada Tuhan akan di rasakan melalui riyadah-riyadah amalan-amalan dzikir wajib yang dilaksanakan setiap hari. Setiap jamaah yang sudah melakukan baiat diwajibkan membaca wirid-wirid wajib seperti wirid wajib pagi dan sore. Dalam melaksanakan wirid-wirid tersebut apabila dilakukan dengan penuh penghayatan, ikhlas, dan fokus kepada mursyid maka akan melahirkan perasaan bahagia dan tenang seakan berjumpa dengan dzat yang maha kuasa Allah SWT (Tuhan). Tarekat Syadiliyah adalah tarekat yang muttasil sanadnya sampai kepada Rasulullah, maka posisi sangat sentral untuk menghubungkan kepada Allah SWT dan Rasulullah. Oleh sebab itulah dalam melakukan dzikir-dzikir amalan wajib untuk menghubungkan keberjumpaan dengan Tuhan harus fokus kepada mursyid untuk menyambungkan keberjumpaan kepada Allah. Maka fungsi mursyid dalam tarekat Syadiliyyah adalah wasilah. Menurut Anam (2019), perjumpaan dengan Tuhan itu ialah melakukan wirid-wirid dengan mengfokuskan penghayatan bacaan-bacaanya dengan membayangkan sang mursyid untuk kemudian dihubungkan kepada Allah SWT, menuju keberjumpaan kepada-Nya. Bahkan dalam setiap melaksanakan pertemuan-pertemuan jamaah tarekat Syadiliyyah. Ketika pelaksanaan dzikir berasama yang dipimpin oleh mursyid. Maka para jamaah dengan penuh suasana batin yang sangat luar biasa, seakan-akan menghubungkan kehadirat Allah dan merasakan kehadiran Allah SWT dan Rasulullah. Dalam dzikir-dzikir yang dilaksanakan bersama ini memberikan suasana kebabagiaan yang sangat luar biasa, seakan diri tidak dalam berada dalam dunia tetapi terbang dilangit bersama dengan mursyid menuju Allah SWT. Saat-saat itulah dinakam sebagai perjumpaan dengan Tuhan Allah SWT. Dari beberapa pemaparan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan, Makna perjumpaan dengan Tuhan berati adanya pertemuan antara manusia dengan Tuhannya pada momen-momen tertentu. Pada prinsipnya pertemuan manusia dengan Tuhan dialami oleh orang-orang tertentu yang mengalami realitas perjumpaan dengan Tuhan. Ada yang di tempuh dengan sebuah perjalanan karena mendengar seruan, ada yang di tempuh dengan persekutuan untuk menggapai pertemuan dengan Tuhan, ada yang menggunakan bentuk pengkosongan diri agar dapat bertemu dengan Tuhan dan ada pula yang meraihnya dengan melakukan jalan-jalan Ibadah menuju Tuhan.

Sumber 
Abuddinata. 2014. Akhlak Tasawuf dan karakter Mulia. Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada. 
Alba, Cecep. 2012. Tasawuf Dan Tarekat. Bandung: Remaja Rosdakarya. 
Annemarie Schimmel, 1975, Mystical Dimensions of Islam, The University of North Carolina Press. Chapel Hill. 
Antonius atosokhi, noor Rachmat, Antonina Panca Yuni Wulandari, 2004, Relasi dengan Tuhan, Jakarta, PT Elxmedia Komputindo
Archie J. Bahm, 2011, Yoga: Union with the Ultimate, Literary Licensing, LLC
Atjeh, Aboe Bakar. 1990. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian-uraian tetang Mistik. Solo: Ramadhani.
Carl W Ernst, 2003, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme (terj: Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati). Putra Langit. Yogyakarta.
Christian Doctrine of God, 2001, One Being Three Persons, London, Thomas F. Torrance, A&C Black.
James, William, 1902, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature, An Electronic Classics Series Publication edited by Jim Manis, Hazleton-Pennsylvania: Pennsylvania State University.
James, William, 2004, The Varieties of Religious Experience: Perjumpaan dengan Tuhan. Terjemahan Gunawan Admiranto, Bandung: Penerbit Mizan.
Zain, Adib. 2005. Mengenal Thariqah. Semarang: Aneka Ilmu, 2005. 
Zuhri, Saifudin. 2011. Tarekat Syadziliyah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial. Yogyakarta: Teras.  read more

Islam Medsos : Yang Hilang Dari Kita

Muhammad Fairuz Rasyid,M.Pd

Istilah Islam Medsos hanyalah frasa komunikasi media sosial. Sebuah ungkapan yang merujuk pada gejala beragama yang marak terjadi di ruang media kita. Hal yang tak sulit dilacak oleh siapapun, bahkan oleh remaja yang baru saja terbangun dari mimpi akil-balignya.

Islam Medsos adalah kegelisahan penulis yang berusaha memotret wajah berislam orang-orang medsos. Hal yang saat ini menjadi sorotan para orang tua yang turut prihatin melihat anaknya "sakau" gawai daripada pergi mengaji. Sementara frasa selanjutnya terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Prof. Quraish Shihab dengan judul yang sama. Buku tersebut secara mendalam mengkaji mengenai akhlak yang dinilai telah meredup pancarannya di tengah-tengah kehidupan beragama kita. Sehingga dapat dikatakan Islam Medsos berkaitan dengan praksis yang kehilangan dimensi akhlak. Anda tentu memiliki akun facebook atau twitter atau instagram pribadi bukan? Anda pernah mengikuti sebuah grup atau postingan dengan nada memancing untuk diskusi perihal keagamaan? Coba perhatikan kolom komentar lantas cermati bagaimana setiap akun menyuarakan pendapatnya. Tentu disana terdapat akun yang berpendapat secara sopan dengan bahasa lugas, adapula yang berkomentar dengan nada jenaka. Namun tidak sedikit pula yang berkomentar dengan nada menjelekkan, sumpah serapah, disinformasi, tidak nyambung dengan status, atau bahkan melabeli anda dengan cap kafir, munafik, murtad, dan tuduhan lain yang tak berdasar lainnya. Secara personal mungkin kita tidak mengalaminya, namun terdapat beberapa fanpage atau akun tokoh publik yang mengalaminya dan akan sangat mudah bagi kita untuk menemukan komentar-komentar bernada "aneh" tersebut disana. Sering terjadi di medsos, adanya semacam pengakuan berlebihan atas kebenaran suatu pendapat sehingga menimbulkan sikap menyalahkan pihak lain yang berbeda. Banyak sekali konfrontasi terjadi di ruang medsos, apalagi ketika membicarakan kekuasaan. Identitas keagamaan secara otoriter memainkan peran luar biasa disana. Sejatinya meski kritik virtual akhlak tetap dinomorsatukan (Hakim, 2018: 3). Bagaimana secara eksplisit Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa tradisi ulama terdahulu meski saling mengkritik, tetapi pada dasarnya mereka saling mendoakan dan memohonkan rahmat (M. Quraish Shihab, 2016: 37), hal demikian mudah ditemukan pada naskah kitab-kitab ulama terdahulu. Coba kita bandingkan dengan akhlak orang-orang yang mengaku sebagai santri atau murid dari ulama di atas. Sopan-santun di ruang medsos tampaknya terkikis dengan dalih pembenar bahwa komunikasi yang terjadi bukan face to face. Komunukasi virtual telah menjadi perisai yang menambah kebanyakan orang untuk berani bersikap secara terbuka dan terkadang berlebihan (Hakim, 2018: 11). Ketidakhadiran ruang tatap-muka justru menjadi persembunyian yang membuat setiap orang berkesempatan untuk lempar batu sembunyi tangan. Urun-rembuk pendapat bukanlah sesuatu yang dilarang, namun "memaksakan" pendapat seraya memaksa orang lain untuk meyakininya adalah tidak terpuji ditambah lagi dengan caci-maki. Menguatkan argumen berbeda dengan memaksakan kehendak. Menguatkan pendapat berarti meneguhkan argumen supaya lebih meyakinkan dan karenanya tidak ada pertentangan untuk menerimanya. Sementara memaksakan pendapat lebih sering bermakna intimidasi dan ancaman supaya pendapatnya diterima oleh orang lain. read more

Filsafat dan Agama: Dari Nalar Falsafi Hingga Qurani

Luthfi Maulana, M.Ag

Pada mulanya Filsafat dan Agama adalah dua kata yang berbeda. Namun kemudian menjadi kesatuan yang utuh, karena keduannya memiliki maksud dan tujuan yang sama. Filsafat memiliki tujuan untuk mengajak manusia mencintai kebijaksanaan, dalam pada prosesnya, tentu membutuhkan akal dan nalar manusia. Hal ini senada dengan istilah filsafat yang berasal dari dua kata “philos” cinta dan “sophia” berarti kebijaksanaan, maka filsafat menghasilkan makna mencintai kebijaksanaan (Hakim, 2008: 14). Agama-pun juga demikian, ia merupakan sebuah pedoman yang mengajak manusia untuk mencintai kebijaksanaan, sehingga menghasilkan pola kehidupan manusia yang teratur (Tafsir, 2010: 8), baik untuk menjalankan aktivitas kepada sesama manusia maupun manusia kepada Tuhan-Nya (Nasution, 2008: 2). Dua kesamaan tujuan itulah yang membuat keduanya dapat berdampingan dan menyatu melahirkan sebuah kerangka yang baru, yakni filsafat agama. read more