SAPIENS DAN PROBLEM EKOLOGIS

SAPIENS DAN PROBLEM EKOLOGIS

Oleh : Muhammad Muhibbuddin*

Perubahan iklim global kini menjadi isu sensitif yang cukup menyedot perhatian dunia. Masalah yang mengancam komunitas kehidupan di bumi ini dipandang sangat memprihatinkan dan mencemaskan. Terkait dengan masalah global itu, para pemimpin dunia pada 2009 pernah menggelar konvensi kerangka kerja tentang perubahan iklim PBB/United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark.

Pertemuan ini didesign untuk membangun kesepakatan baru sebagai pengganti protokol Kyoto yang telah dirativikasi oleh 145 negara pada 1997. Di forum-forum internasional dan regional lainnya, seperti di forum G-20 dan APEC, juga telah diperbincangkan persoalan ekologis ini. Itu artinya isu perubahan iklim sudah sering diperbincangkan dan didskusikan secara global dalam berbagai forum pertemuan. Tetapi kenyataannya, pertemuan-pertemuan tersebut belum mampu memberikan kontribusi konkrit dalam upaya menekan laju perubahan iklim global. Degradasi lingkungan, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global masih terus mengalami eskalasi.

Negara-negara industri maju, sebagai pemasok karbondiokasida terbesar, masih belum bersedia meminimalisir secara signifikan produksi karbondioksida dari aktivitas industrinya. Negara-negara penyumbang CO2 terbesar, secara berurutan berdasarkan laporan Kompas (15 Desember 2009) adalah China (20, 96 %), AS (19,92 %), Rusia (5,48 %), India (4,57 %), Jepang (4,27 %), Jerman (2,76 %), Kanada (1,96 %), Inggris (1,81 %), Korea Selatan (1,69 %) dan Iran (1,61 %).
Sementara pada level kultural yang lebih luas, masyarakat global masih suka menghambur-hamburkan energi dan tidak peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Membuang sampah di sembarang tempat, suka memboroskan air, listrik dan seterusnya masih menjadi budaya sehar-hari masyarakat. Gejala ini menunjukkan bahwa gerakan penanggulangan perubahan iklim global masih sebatas politis dan belum menyentuh pada level paradigmatis. Konsekuensinya, segala upaya dan keputusan dari berbagai pertemuan mengenai perubahan iklim akhirnya hanya menjadi perdebatan utopis dan penghias kertas belaka.

Paradigma lama
Persoalan ekologis, utamanya terkait isu perubahan iklim ini kalau ditarik ke persoalan yang lebih fundamental sesungguhya juga ada sangkut pautnya dengan paradigma atau cara pandang masyarakat global secara umum dalam memandang dan mensikapi alam semesta. Hingga saat ini, masyarakat dunia secara umum, masih berada dalam dominasi paradigma Cartesian dalam memandang dan berhubungan dengan alam semesta.

Salah satu ciri khas paradigma Cartesian adalah peneguhan antroposentrisme yang mendaulat manusia sebagai pusat kehidupan di semesta raya. Konsekuensi dari paradigma semacam ini adalah terjadinya strukturalisasi posisi manusia versus alam semesta. Pola pikir Cartesian inilah yang secara sadar atau tidak, masih mendominasi alam pemikiran masyarakat modern termasuk dalam hal cara memandang dan menjalin hubungan dengan alam dan lingkungan, meski kritik-kritik terhadap modernisme sudah banyak dilakukan oleh sejumlah ilmuwan dan intelektual. Termasuk “proyek” utama manusia modern adalah menundukkan dan menjinakkan alam semesta. Manusia modern memposisikan dirinya sebagai subyek yang menguasai dan sebaliknya alam sekitar yang berada di ranah eskternal manusia diposisikan sebagai obyek yang bebas dikuasai dan dieskploitasi.

Klaim Cogito ergo sum Descartes merupakan afirmasi antroposentrisme yang mengajarkan perlunya kedigdayaan manusia atas alam semesta.
Paradigma itu yang menjadi dasar justifikasi manusia modern menguasai dan mengeskploitasi alam semesta.

Cara pandang Cartesian ini juga yang melahirkan pemusatan nilai ke tangan manusia dari segala unsur kehidupan. Bahwa segala sesuatu menjadi bernilai jika ia memberikan kegunaan terhadap kehidupan manusia. Unsur kehidupan lain: binatang, tumbuh-tumbuhan, air dan kekayaan alam lainnya secara instrinsik dianggapnya tidak bernilai. Unsur-unsur natural itu baru bernilai jika digunakan dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Padahal manusia sesungguhnya juga binatang yang (1) masuk species: Sapiens, dan (2) bagian dari genus: Homo sehingga disebutlah dengan Homo sapiens (manusia cerdas/berakal). Secara natural, eksistensi Homo sapiens pada awalnya tidak lebih bernilai dari binatang-binatang atau makhluk-makhluk hidup lain di muka bumi. Yuval Noah Harari (2019:499) memaparkan bahwa 70.000 tahun yang silam, Homo sapiens hanya hewan tak bernilai; hewan tak penting yang sibuk sendiri di sudut Afrika. Lalu pada milenium-milenimum berikutnya, melalui revolusi kognitifnya, Homo sapiens merubah dirinya sendiri sebagai penguasa di seluruh planet bumi sekaligus muncul sebagai kekuatan teror terhadap eksosistem.

Hampir seluruh tatanan ekosistem, baik di darat, laut dan udara berubah, tercemar bahkan hancur oleh Homo sapiens ketika spesies ini meneguhkan dirinya sebagai penguasa di muka bumi. Seluruh potensi alam semesta, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, mutlak diproyeksikan dan digunakan Homo sapiens untuk menjaga survivalnya sendiri. Bahkan kini, lanjut Harari, Homo sapiens tidak lagi menjadi penguasa, tetapi nyaris menjadi tuhan, di mana dirinya hampir mencapai bukan hanya tahap ke-muda-an yang abadi, tetapi juga kemampuan ilahi untuk menciptakan dan menghancurkan.

Dengan kemampuannya yang semakin canggih, Homo sapiens kini berusaha mendepak Tuhan yang sebelumnya pernah disembahnya sebagai jalan mendaulatkan dirinya menjadi tuhan baru yang bebas mengatur alam semesta. Alam tidak hanya ditundukkan, tetapi juga diatur dan diperlakukan sesuai dengan kehendak dan kepentingan Homo sapiens tanpa ada kekuatan lain yang mampu mengintervensinya. Tapi sayangnya, masih menurut Harari, rezim kekuasaan Homo sapiens di muka bumi ini tidak menghasilkan sesuatu yang benar-benar bisa dibanggakan. Benar, bahwa Homo sapiens, berkat revolusi kognitifnya, berhasil menguasai alam, mengeksploitasi lingkungan sekitar, meningkatkan produksi pangan, membangun kota, mendirikan imperium, menciptakan jejaring perdagangan, menemukan sains yang mencengangkan, menciptakan teknologi-teknologi canggih yang menggoncang dunia. Tetapi apakah seluruh capaian Homo sapiens itu benar-benar mampu menurunkan atau meminimalisir penderitaan? Ternyata tidak.

Capaian kemajuan Homo sapiens tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kebahagiaan dan menurunnya penderitaan. Alih-alih menurun, kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Homo sapiens justru meningkatkan penderitaan dan kekelaman yang memilukan.

Peningkatan besar-besaran dalam kekuasaan Homo sapiens tidak secara otomatis mendongkrak kesejahteraan bagi para makhluk hidup, termasuk bagi individu-individu Homo sapiens sendiri, bahkan menyebabkan penderitaan yang luar biasa hebat terhadap hewan-hewan dan spesies lain (Harari, 2019:499).

Pada sisi tertentu malah seolah berlaku sebuah hukum bahwa kemajuan yang dicapai secara revolusioner oleh Homo sapiens akan berdampak pada punahnya spesies lain di muka bumi. Bisa diteliti sendiri sudah berapa ribu spesies lain yang rusak dan mengalami kepunahan akibat kemajuan dan capaian rezim kekuasaan Homo sapiens.

Dengan logika Cartesian, Homo sapiens di masa modern ini sampai pada kredo humanisme ekstrim bahwa alam semesta ini berputar dengan manusia sebagai porosnya, dan karena itu manusia sendiri sesungguhnya adalah sumber inti dari seluruh makna, nilai dan otoritas dari kehidupan di muka bumi.

Dampak dari kredo ini adalah munculnya beragam kerusakan, ancaman, bencana dan kesulitan yang melanda pada hari ini maupun pada masa-masa yang akan datang.
Paradigma Cartesian itu paling nyata teraktualisasi dalam sistem ekonomi kapitalis- liberal yang menjunjung tinggi persaingan. Semangat persaingan ini akhirnya memangkas kesadaran perlunya menyelamatkan dan menjaga kelestarian lingkungan. Lingkungan dikorbankan untuk keberlanjutan kompetisi dalam produksi dan industrialisasi. Hutan, sungai, udara dibiarkan rusak dan tercemar demi keberlangsungan produksi dan meningkatnya profite.

Salah satu ajaran liberalisme, seperti yang ditegaskan oleh Fritjof Capra dalam karyanya yang terkenal, The Hidden Connection: A science for Sustainable Living, (2003) adalah bahwa negara-negara miskin sebaiknya berkonsentrasi memproduksi beberapa barang khusus, utamanya barang mentah, untuk diekspor agar memperoleh devisa, dan mengimpor sebagian besar komoditas lain dari negara-negara maju/kaya.
Penekanan seperti itu telah menyebabkan cepat terkurasnya sumber daya alam yang diperlukan untuk menghasilkan produk ekspor di berbagai negara—-pengalihan air bersih dari sawah ke tambak udang; fokus pada tanaman yang butuh banyak air, seperti tebu, yang menyebabkan keringnya sungai; konversi lahan pertanian menjadi perkebunan tanaman niaga; pembabatan hutan untuk perkebunan sawit dan migrasi paksa sejumlah besar petani dari tanah mereka.

Doktrin penting yang sekaligus menjadi tujuan utama kelompok kapitalis-liberal berbunyi: kebahagaiaan adalah kesenangan. Doktrin dari kaum kapitalis-liberal ini benar-benar mempunyai efek yang luar biasa terhadap eksistensi alam. Seluruh potensi alam dan lingkungan dikesploitasi sehabis-habisnya untuk kesenangan Homo sapiens. Bencana, kerusakan dan bahaya yang mengancam seluruh komunitas makhluk hidup seolah bisa dimaklumkan begitu saja demi menciptakan kesenangan manusia (Homo sapiens).

Kesenangan bagi barisan kaum kapitalis-liberal berada pada strata nilai tertinggi yang pencapaiannya bisa “menghalalkan” segala cara termasuk merusak lingkungan dan alam semesta.
Padahal salah seorang filosof Yunani Kuno, Epicurus sejak dulu-dulu sudah mengajarkan bahwa pencarian kesenangan yang berlebihan akan melahirkan penderitaan. Pernyataan Epicurus ini nampak terbukti dengan kerakusan dan keagresifan kum kapitlais-liberal di era modern yang sangat berlebihan dalam berburu kesenangan. Agresifitas dan ketamakan manusia kapitalis-liberal modern dalam berburu kesenangan itu benar-benar melahirkan banyak bencana alam dan penderitaan sosial yang semakin tak tertangguhkan.

Keruskaan lingkungan akibat praktek kapitlisme-liberal di aras global ini juga diungkapkan oleh Edward Goldsmith. Goldsmith memberikan keterangan dampak ekonomi terhadap lingkungan itu melalui contoh Taiwan. Di Taiwan, menurut Goldsmith, limbah pertanian dan industri mencemari hampir sungai utama. Di beberapa tempat, airnya bukan hanya tidak berisi ikan dan tak bisa diminum, tetapi malah bisa dibakar. Tingkat polusi udaranya dua kali lipat dari ambang bahaya di AS.

Pada prinsipnya, Taiwan bisa menggunakan kekayaannya untuk menyelamatkan lingkungannya, tetapi kemampuan bersaing dalam ekonomi global begitu penting, sehingga regulasi yng terkait dengan lingkungan alih-alih diperkuat, tetapi justru dihilangkan untuk mengurangi ongkos produksi. Kasus di Taiwan ini sebenarnya juga banyak dilakukan oleh negara-negara industri mauju lainya.

Dari antroposentris ke antropokosmik
Sebagai langkah untuk penanggulangan perubahan iklim ini, harus ada upaya sepenuh hati dari seluruh umat manusia di muka bumi. Jika bumi yang sampai saat ini masih merupakan satu-satunya planet yang bisa dijadikan tempat untuk berpijak dan melanjutkan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup, bukan hanya Homo sapiens melainkan juga spesies lain, maka konsekuensinya bumi dengan seisinya harus dijaga kelestariannya.

Sebagai langkah dasar dan fundamental untuk melestarikan bumi dan seluruh alam semesta ini, yang dibutuhkan sekarang bukanlah sekedar pertemuan-pertemaun formal diberbagai level, tetapi yang paling pokok dan prinsipil adalah adanya reparadigmatisasi ekologis masyarakat global.

Homo sapiens di seluruh dunia harus segera keluar dari kungkungan paradigma Cartesian yang cenderung anstroposentris dalam memandang dan memperlakukan alam dan menuju ke paradigma baru yang lebih ramah terhadap lingkungan dan alam semesta.
Pola pikir Cartesian yang antroposentris hendaknya perlu dikoreksi, dirubah dan diperbaharui untuk memposisikan manusia sebagai makhluk antropokosmik.

Dalam paradigma antropokosmik, Homo sapiens tidak lagi menjadi pusat, menjadi pemegang otoritas tunggal dalam kehidupan di muka bumi dan juga bukan satu-satunya sumber nilai, melainkan menjadi bagian atau sub atomik dari sistem kehidupan alam semesta secara menyeluruh. Eksistensi Homo sapiens hanyalah satu mata rantai dari keseluruhan rangkaian sistem kehidupan yang kompleks di semesta raya ini, karenanya Homo sapiens harus mempertimbangkan eksistensi spesies-spesies lain dalam menjalani kehidupannya.

Perlunya reparadigmatisasi ini untuk melahirkan kesadaran umat manusia bahwa eksistensi manusia (Homo sapiens) tidak akan bisa terjadi tanpa di dukung oleh unsur-unsur alam lainnya yang ada di sekelilingnya. Sebab, kehidupan dan keberadaan Homo sapiens pada prinsipnya berada dalam jaring-jaring kehidupan yang terajut dan bertaut dengan unsur-unsur alamiah lain di luar dirinya. Merusak lingkungan untuk industri dan ekonomi sama halnya bunuh diri; membumihanguskan spesies lain dan potensi-potensi alam demi memenuhi hasrat kesenangan yang tak bertepi hanya akan menjermuskan Homo sapiens dan seluruh makhluk hidup ke dalam penderitaan baru.

Reparadigmatisasi ekologis ini merupakan langkah mendasar untuk mendorong terjadinya penanggulangan perubahan iklim secara radikal dan menyeluruh, dengan menyentuh kesadaran dari setiap individu Sapiens, dan bukan secara formal belaka yang diwujudkan melalui seremoni-seremoni dan basa-basi politik untuk menghasilkan kebijakan palsu dan karenanya sangat memuakkan.
Jika pendekatan sistemik dan struktural untuk menanggulangi krisis ekologis ini masih sulit diusahakan karena dalam kenyataannya dunia memang masih dicengkram oleh sistem kekuatan kapitalis-liberal di hampir segala lini kehidupan, maka perlu diusahakan cara lain yang salah satunya adalah melalui kritik paradigmatik yang berorientasi pada terjadinya perubahan kesadaran dan cara pandang masyarakat dunia terhadap alam semesta.

Pendekatan paradigmatik ini dilakukan ketika upaya-upaya dan langkah-langkah revolusioner untuk menghadirkan perubahan sistemik- strukturalis selalu mentok. Sekarang ini, boro-boro mau revolusi, sekedar mencabut regulasi dan kebijakan politik yang tidak eco-friendly saja susahnya minta ampun. Lalu apakah kita cukup menunggu dan terlelap ke dalam harapan akan datangnya “dewa Revolusi untuk menyelamatkan bumi dan ekologi? Sampai kapan? Daripada menunggu dan terbuai harapan dengan “dewa Revolusi” yang tidak tentu kapan datangnya, maka lebih baik ditempuh langkah-langkah kultural-sainstifik untuk melakukan penyadaran sosial, yang salah satunya melalui upaya merubah paradigma masyarakat.

Perubahan jangka panjang yang ditempuh melalui perubahan paradigmatik ini menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan jika persoalan ekologis ini kita posisikan sebagai bagian dari apa yang disebut Roy Bhaskar dengan obyek pengetahuan transitif: fakta-fakta dan theori-theori, paradigma dan model, metode dan teknik penyelidikan dalam sains yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain, obyek pengetahuan transitif ini merupakan persoalan epistemologis, di mana ini merupakan obyek artifisial sains yang dibuat menjadi bahan-bahan pengetahuan oleh sains hari ini (Bhaskar,2008:11).

Jika persoalan ekologis merupakan bagian dari obyek pengetahuan transitif, maka di dalamnya tak lepas dari persoalan paradigmatik, diskursus dan teori-teori sains yang mempengaruhi masyarakat modern dalam memandang alam.
Tentu saja pendekatan paradigmatik itu tidak akan melahirkan perubahan yang total dan revolusioner dalam sekali waktu, melainkan perubahan secara gradual dan jangka panjang. Tetapi upaya ini masih lebih baik jika dibanding hanya melalui pertemuan-pertemuan dan seremoni-seremoni yang “katanya” membahas ihwal persoalan ekologis tapi nyaris tidak ada hasilnya selain hanya retorika-retorika kosong dan basa-basi politik dari para politisi, ekonom dan stakeholders lainnya.
Kerusakan alam akibat kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia (Homo sapiens) ini sungguh riil, karenanya penanggulangannya tidak lagi bisa dilakukan melalui tindakan-tindakan politik yang basa-basi, seremonial dan palsu.

*Muhammad Muhibbudin Tinggal di Krapyak Yogyakarta, Penulis Lepas

Post Author: agama.filsafat

Filsafat Agama merupakan Kerangka Filosofis sebagai analisis membaca Agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.