Imam Nawawi, M.A
Pada lazimnya, kajian hermeneutika berbicara seputar author, text, dan reader. Terlepas dari kemampuan reader (pembaca) mampu memahami teks dengan baik sesuai makna dan maksud dari author (pembicara), Abu Yazid memberikan uraian yang serupa.
Dalam satu syathohatnya, Abu Yazid mengatakan:
إنما يخرج الكلام مني على حسب وقتي، ويأخذه إنسان على حسب ما يقوله ثم ينسبه إليَّ.
“Kata² keluar dariku sesuai waktuku, kemudian orang² mengambilnya sesuai pemikirannya, namun kemudian menisbatkannya padaku”.
Bagi Abu Yazid, author memiliki konteksnya sendiri dalam menciptakan teks (text). Kemudian teks itu bisa melanglang buana ke tangan² para pembaca. Di tangan pembaca, teks hidup berkolaborasi dengan pendapat dan menyesuasikan diri dengan cita rasa publik pembaca. Pembaca memiliki hak untuk menisbatkan pemahamannya sendiri terhadap author, dan mengklaim pemahamannya sendiri sebagai maksud yang diinginkan author.
Di dalam bingkai teologi Abu Yazid tentang konsep non-eksisten bagi selain Allah swt, dan segalanya adalah Allah, hermeneutika ini sangatlah penting dan fungsinya sangat krusial. Reader sejatinya sedang berbicara tentang dirinya sendiri, hanya saja mencari-cari cara agar pemahaman dirinya memiliki rujukan pada diri orang lain (author).
Tetapi, bagi Abu Yazid, penisbatan adalah tindakan invalid atau tidak absah, lantaran author dalam menciptakan teks terikat oleh konteksnya sendiri, sebagaimana reader juga terpenjara oleh konteksnya sendiri. Singkat kata, manusia satu tidak mungkin memahami manusia lain.
Ditarik pada kajian teologi, Allah yang manifes pada seseorang hanya bisa dipahami oleh orang yang bersangkutan, tidak oleh orang lain. Terlalu congkak dan pongah apabila seseorang mengklaim telah mampu menafsiri orang lain. Sebab, tajalli Allah pada seseorang hanya khusus untuk dirinya sendiri. Orang lain diberi anugerah tajalli lain sesuai konteksnya sendiri-sendiri.
Secara sosiologis, hermeneutika ini bermanfaat besar. Salah satunya adalah sebagai rambu² untuk mengingatkan manusia agar dirinya lebih banyak diam dari pada banyak berkomentar tentang orang lain. Berkomentar tentang orang lain hanya menunjukkan perilaku kepongahan dan kecongkakan. Jika pun ada hasrat menasehati orang lain, sebaiknya diungkapkan dengan cara memperbaiki dirinya sendiri, supaya orang lain mengikuti sikap positifnya tersebut.
Apalagi semangat jaman di era postmodern dan kontemporer ini, orang² sudah pintar semua. Ilmu pengetahuan bagaikan kacang goreng yang diobral murah. Bahkan, banyak lembaga pendidikan dan tenaga pendidik yang berjualan dan menjajakan ilmu mereka, sampai² mendapatkan murid/siswa/santri bagaikan mendapatkan konsumen. Ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi barang mewah yang langka. Jadi, mengaku mampu menafsir orang lain dengan segala perangkat ilmu yang dimilikinya sama saja dengan sedang mempertontonkan kebodohannya sendiri.