Oleh: Fairuz Rosyid, M.Pd
Di saat kehidupan bersosial tak lagi mementingkan inti kebijaksanaan alih-alih mengutamakan emosi maka upaya melepaskan diri dari lingkaran setan tersebut adalah mencari Guru Pembimbing menuju Tuhan (Mursyid). Post truth era dan era digital adalah perkawinan sempurna antara teknologi, mesin dan emosi. Keduanya melahirkan peradaban baru yang memarjinalkan peran nurani manusia, dimensi ruh. Dimensi akal-empiris dan nafsu-emosi adalah penyakit jika absen kelembutan nurani. Maka benar seruan Nabi yang terangkum dalam Shahihain,
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Jika hati sehat, sehatlah seluruh tubuh. Namun, tatkala hati rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Paham post-truth dengan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan melalui isu-isu sensitif. Nafsu emosi seolah menjadi akhlak tercela yang menjangkiti masyarakat sosial saat ini. Misalnya saja kasus Pemilu 2019 yang telah melahirkan banyak berita palsu dan perilaku amoral pendukung kandidat adalah wujud nyata dari hati yang rusak.
Hal ini tak sulit untuk dilacak klik di mesin pencari google akan banyak media yang memberitakan. Google menjelma menjadi ‘all-alamah’ (guru mulia) yang menyediakan banyak informasi. Orang lebih suka untuk searching jawaban di search engine google daripada mencari jawaban kehidupan kepada ahl dzikir (Guru Tasawuf).
Tak dapat disangkal sang guru google dewasa ini memberikan kemudahan. Akan tetapi layanan google hanyalah perangkat mesin pengolah data. Sesuatu yang tak ber-ruhani (tak memiliko jiwa), tak dapat memberikan bimbingan, tak dapat mengobati hati yang tentu saja memiliki cara kerja sendiri. Sesuatu yang ajaib dan terjadi tidak seperti algoritma internet.
Dalam mengobati hati dibutuhkan seorang guru Tasawuf yang sering di sebut sebagi Mursyid. Dalam ajaran tasawuf Mursyid berperan memperbaiki hati (fasadat) supaya kembali berfungsi dengan baik (sholuhat). Alasan penting kenapa Murayid serta menta’ati Jalannya (Tarekat) adalah hal fundamental di era post truth ini dijelaskan oleh Dr. Javad Nurbakhsh di dalam buku Warisan Sufi (jilid satu), seorang Pemimpin Tarekat Sufi Nimatullah tahun 1991 di London, Inggris, sebagai berikut.
Pertama, cinta Tuhan. Melalui kepasrahan kepada perintah Mursyid (Syaikh), seorang murid dapat terkoneksi dengan Tuhan. Dengan demikian memungkinkan sang murid untuk mencercap cinta Tuhan.
“Jalan pengembaraan dan kemanuan metodis di atas Jalan [tarekat], Sufi begitu pasrah [taslim] jatuh cinta pada guru spirutualnya [Syaikh], yang kemudian mengubah cinta ini dengan cinta ilahi [atas ridha Syaikh]… Sufi memulai pencarian guru spiritual, yang menggenggam di tangannya lentera Pencari Kebenaran; kemudian sang guru Mursyid (Syaikh) menghidupkan nyala lentera dengan napas ruh sucinya sendiri, yang menyebabkan Sufi terbakar oleh cinta Ilahi.”
Sehingga, kehidupan era post truth yang kering dan ampang (jawa, kosong) dapat diatasi dengan kebutuhan nurani yang disebut cinta (hubb).
Kedua, Seruan untuk menyembah Tuhan. Seorang Mursyid (Syaikh) sejati tidak akan memanfaatkan muridnya demi kepentingan pribadi. Justru muridlah yang sangat membutuhkan bimbingannya.
“Para Guru Jalan (Syaikh Tarekat) menyeru murid-muridnya kepada Tuhan, bukan pada diri mereka sendiri. Tujuan mereka adalah untuk membebaskan murid-murid dari penyembahan-diri dan penyembahan pada orang lain, dan membimbing mereka menuju penyembahan Tuhan semata (‘Abid), bukannya menarik yang lain kepada mereka demi tujuan pribadi atau melalui pamer keajaiban dalam rangka menambah penghidupan untuk diri mereka sendiri.”
Nilai penting Musryid (Syaikh) adalah bimbingannya untuk mengantarkan sang murid kepada kebahagiaan. Jika hati rusak yang merajalela di era post truth dengan bimbingan inilah seorang Mursyid (Syaikh) akan meperbaikinya.
Ketiga, Keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan. Tak ada satu pun Mursyid (Syaikh) yang memerintah murid untuk menggantungkan kebutuhan hidupnya kepada makhluk. Justru Mursyid (Syaikh) senantiasa mengharapkan muridnya menjadi orang mandiri yang sukses.
“Guru Jalan Sufi [Syaikh Tarekat] yang agung menekankan pentingnya untuk memiliki sebuah pekerjaan, dan mereka sendiri melibatkan dalam perdagangan yang mendorong murid-murid mereka untuk mencontoh tindakan kegigihan mereka.”
Di era post truth dan persaingan seperti sekarang ini, seorang murid akan senantiasa husnudzon dan bersemangat untuk meraih yang terbaik. Hidupnya selalu berpikir positif dan tak ada kehawatiran.
Keempat, Pelayanan kepada sesama dan mencintai umat. Syaikh tak ridha jika muridnya tak berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Sufi berada di bawah bimbingan Syaikh untuk senantiasa menebarkam cinta dan kebaikan untuk sesama dengan kapasitasnya masing-masing.
“Para guru Sufi pada dasarnya berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling memguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung kualitas-kualitas manusia.”
Ahirnya, nafsu emosi yang mendominasi di era post truth dapat diobati melalui bimbingan Syaikh. Kehidupan sosial yang saling terkoneksi dengan didasari cinta kasih itulah yang diberikan oleh Sufi, yang absen dari kehidupan bersosial kita.
Keempat hal ini seyogyanya menjadi alasan kuat bagi kita untuk menemukan pembimbing sejati yang akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang berbahagia. Melewati segala macam perubahan zaman dengan tetap istiqamah di atas jalan Islam yang menebarkan kasih bagi semesta raya. Bukan Islam yang menebarkan teror dan ketakutan bagi sesama manusia.