Reza Bahtiar R., M.A
Berbicara perdamaian, seakan kita sedang digiring menembus Sidratul Muntaha, tempat dimana kanjeng nabi Muhammad sowan kehadirat Allah. Absurd..!!!, kata para kaum kafir Quraisy waktu itu. Tetapi mungkin, jika kita ada di waktu itu, tak menutup kemungkinan akan bersikap sama.
Kembali pada perdamaian, dimana doktrin agama & ilmu pengetahuan tak bosan, juga tak henti mendengungkan ajakan, mengomando dengan perintah, serta mengimingi dengan pahala untuk kita, hanya untuk kita!!, agar kita dapat selalu mewujudkannya. Bahkan ilmu pengetahuan dengan repotnya mengkonstruksi sedemikian rupa, dengan metodologi yang rumit, hanya untuk dapat menyumbangkan dalil yang argumentatif, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis pun seakan runtuh jika kita melihat realitas sosial yang jauh dari perdamaian.
Kini konflik-konflik berserakan menyumbat ruang-ruang intim kasih sayang, ibarat sampah menyumbat aliran sungai. Banjir!!. Kita lihat berita di televisi, internet, koran, majalah, dan media sosial seakan tak henti bercerita tentang nestapa perseteruan, baik perseteruan fisik maupun non-fisik yang mengarah pada kehancuran yang niscaya.
Kesejarahan konflik berlangsung begitu abadinya, hingga kita tak sadar sudah bewindu, bahkan berabad lamanya, ibarat kata dari mulai Kakek kita kanak-kanak lalu menua dan mati, hingga cucunya kini menjadi kakek pun konflik belum usai, perdamaian masih disemai. Adapun misalnya, konflik Israel-Palestina, misalnya, telah berlangsung puluhan tahun, bahkan ada yang menyebut ratusan tahun jika mengikuti kesejarahan bani Israil – bangsa Arab ini secara langsung maupun tidak langsung sedang dan selalu mempertontonkan pada dunia bahwa perdamaian itu di langit, karena ego masih menjadi penguasa hati.
Meskipun perdamaian selalu diupayakan melalui traktat-traktat perjanjian damai yang menggunung, dan selalu disepakati. Namun itu hanya semu belaka, karena nyatanya berbeda. Ironis, sangat ironis. Dulu sekali, Kant pernah berdalil, “bahwa perdamaian bukan hanya sekedar bicara tentang keadaan tanpa perang”. Spirit Kant ini menggambarkan bahwa tanpa perang bukanlah indikator perdamaian. Lebih jauh lagi, bahwa perdamaian adalah suatu upaya menghadirkan penghargaan tinggi kepada nilai-nilai kemanusiaan. Spirit inilah yang kini memudar dari internal diri kita. Jika saja dunia ini tercipta tanpa perang, namun spirit kemanusiaan kita tak ada, apakah hal ini dapat disebut dengan perdamaian?. Beranikah Anda menjawabnya?.
Dalam buku babon Zum Ewigen Frieden: Ein Philosophischer Entwurf, Kant menjelaskan tentang perdamaian abadi yang dicita-citakan dapat terwujud bilamana manusia dapat memahami, memposisikan diri lalu mengekstralisasikan dirinya sebagai manusia. Hanya manusia…!!. Karena jika sudah begitu, citra diri sebagai manusia telah melebur menjadi tiada. Sehingga manusia dapat melahirkan nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit), yang dapat memperbudak kecerdasan sekaligus meringkus hawa nafsu.
Nalar kebijaksanaan ini dapat mengaktifkan sel-sel cinta kasih yang berguna sebagai modal dalam pergaulan. Jika sudah demikian, perdamaian abadi dapat membumi. Namun, persoalannya kini terlalu rumit. Godaan-godaan untuk menyimpang semakin terasa getarannya. Uang, misalnya, adalah hal yang paling dicari di dunia yang kapitalistik ini. Terkadang, untuk mendapatkannya kita rela menanggalkan segala idealisme yang sudah menancap kuat di dalam hati. Bahkan, alih-alih membantu, sebagain mereka menggadaikan janji pada kitab suci di kepala, yang hanya jadi pemanis dalam seremoni serah-terima jabatan; bagai kalimat tawar menawar di pasar loak. Juga, ‘seragam kebesaran’ petugas pun rela ditanggalkan lalu diinjak-injak hanya untuk beberapa lembar rupiah, bagai balita merengek minta dibelikan mainan. Mengenaskan bukan?. Tapi ini bukan akhir dari dunia, juga bukan akhir dari harapan adanya perdamaian. Karena bagi mereka para penggadai itu, hal-hal yang mereka lakukan adalah implementasi dari perdamaian itu sendiri. Gila lu ndro..!!.
Akhirnya, setuju maupun tidak, kita harus mengakui bahwa perdamaian kini menjadi paradoks. Karena perdamaian kemudian dimaknai dengan beragam situasi kondisi dari individu masing-masing. Kondisi tersebut sangat jauh dari spirit etika Kantianism yang sangat menekankan pentingnya sikap siap rugi saat mengambil keputusan. Tapi dari kerugian itu, kita harus menjauhkan pula sikap peduli pada kepentingan orang lain. Dari sinilah kita belajar bahwa rela berkorban untuk kepentingan yang lebih luas, mungkin bisa saja kepentingan Tuhan, negara, atau apalah. Tafsirkan sendiri.!!!.
Halim PK, September, 5, 2019