NKRI Bersyariah: Problem Epistemologi?
Oleh de Bruyere*
Sebenarnya Jean Hyppolite sangat sabar menuntun kita berpikir agar mencapai pemikiran yang sainstifik. Maksud sainstifik di sini adalah pemikiran yang lebih manusiawi, hidup, dan mudah dicerna. Dalam satu kesempatan memaknai Hegel, Jean Hyppolite mengatakan: “the need to place oneself at the point of view of natural consciousness and to lead it gradually to philosophic knowledge : one cannot begin with absolute knowledge.”
Seseorang perlu menempatkan dirinya pada satu titik pemikiran tentang kesadaran alamiah dan kemudian mengarahkannya secara bertahap pada pengetahuan filosofis. Karenanya, seseorang tidak bisa berangkat dari pengetahuan absolut. Sebab, pengetahuan absolut adalah tujuan, bukan titik keberangkatan. Pengetahuan absolut adalah hasil, bukan proses dan bukan pula modal awal. Semua manusia bermula dari pengetahuan personal-fenomenal menuju pengetahuan absolut.
Saya menjadi teringat pada pelajaran berpikir dari Kiai Jadul Maula, seorang pemikir dan budayawan Jogja. Di Pondok Kaliopak, dia menyederhanakan teknik epistimologi yang kemudian mempengaruhi saya. Dirinya memperkenalkan sebuah istilah “taroqqi” dan “tanazzul”. Dua kosa kata yang diambil dari kitab-kitab sufi klasik. Namun, secara filosofis, penjelasan beliau bisa diterima. Taroqqi adalah gerak mendaki; seseorang yang berjalan dari lereng gunung hingga mencapai puncak gunung, itulah taroqqi. Mendaki. Naik dari level bawah ke level yang lebih tinggi. Sedangkan Tanazzul adalah sebaliknya.
Konsep Taroqqi yang dijelaskan Kiai Jadul menurut saya dapat menjelaskan apa yang Jean Hyppolite maksudkan tentang fenomenologi Hegelian. Pengetahuan haruslah mendaki dari lereng gunung hingga kelak mencapai puncak gunung: pengetahuan absolut. Semua orang harus berangkat dari lereng untuk tiba di puncak. Pengalaman-pengalaman fenomenal dan personal ibarat pengalaman yang didapat sejak di bawah lereng. Tentu seseorang di lereng tidak akan melihat totalitas sebagaimana saat dia sudah tiba di puncak.
Pengalaman yang dimiliki seseorang saat masih berada di bawah lereng gunung, dalam istilah Jean Hyppolite, adalah pengalaman dan kesadaran alamiah (natural consciousness). Pengalaman alamiah ini harus terus digeser secara bertahap, pelan-pelan asal tercapai (alon-alon waton klakon), sampai suatu saat tiba di puncak. Menggeser dari pengetahuan-pengalaman alamiah menuju pengetahuan filosofis adalah Taroqqi itu sendiri.
Ancaman mengerikan yang dihadapi Taroqqi datang dari cara berpikir yang “Tanazzul”. Jean Hyppolite mengatakan: “one cannot begin with absolute knowledge”. Pengetahuan absolut tidak bisa dijadikan titik keberangkatan, kecuali menghendaki kebuntuan. Misalnya, jika ada seseorang yang masih berada di bawah lereng gunung, tetapi dirinya mengklaim telah melihat keseluruhan gunung, lalu menegasikan hasil penglihatan orang lain yang berada di balik gunung, maka hal itu disebut “bermula dari pengetahuan absolut”.
Saya rasa, menjelaskan konsep *begin with absolute knowledge” dapat jelas di lihat melalui representasi para pendukung ide khilafah atau NKRI Bersyariah.
Taqiyuddin an-Nabhani adalah penggagas ide negara khilafah pada tahun 1950-an, kemudian ide itu digandrungi oleh umat muslim Indonesia. Ditambah lagi, tahun 2019 ini, muncul ide NKRI bersyariah. Sementara konsep NKRI sudah lahir sejak negeri ini merdeka. Bahkan, konsep NKRI telah “dipraktekkan” sejak jaman Majapahit. Artinya, secara usia, ide khilafah kalah tua. Jika mau ditarik lebih jauh lagi, sebelum Islam lahir, kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sudah eksis dan mereka secara substansial telah menjalankan konsep NKRI.
Poin yang ingin disampaikan, NKRI Bersyariah yang baru-baru ini lagi marak digandrungi adalah pola pikir yang berangkat dari titik poin absolut. Syariat Islam sebagai agama ditarik turun ke titik yang betul-betul praktis. Okelah hal itu tidak bermasalah sebagai sebuah pengalaman personal atau kelompok. Tetapi, di luar kelompok mereka ada kelompok lain yang telah memaknai NKRI tanpa embel-embel syariah sudah syariah. Bahkan, pasal pertama dari Pancasila menjadikan ketuhanan sebagai pijakan awal. Ketuhanan adalah abstraksi tentang semua agama yang diakui negara, bukan ketuhanan dalam satu agama tertentu. Artinya, NKRI telah bertuhan dan itu berimplikasi pada adanya kelompok di luar sana yang mengakui bahwa NKRI tidak butuh pemaknaan baru. Jika ada makna baru maka hal itu adalah opini parsial di antara opini lain yang sudah ada.
Mengarahkan NKRI pada kerangka syariah Islam semata seperti diperjuangkan dalam ide NKRI Bersyariah adalah cacat epistemologis. Sebab, hal itu digali dari rujukan yang absolut, bukan rujukan yang berupa “natural consciousness”; ide Islam adalah absolut bagi muslim, tapi di luar Islam ada ide absolut lainnnya sebagaimana terangkum dalam agama-agama non-Islam. Karenanya, “NKRI Berketuhanan” sudah mewakili NKRI Bersyariah versi Islam maupun versi agama-agama di luar Islam yang diakui negara.
Alhasil, Jean Hyppolite hendak mengatakan, berpikirlah dengan berangkat dari seluruh pengalaman parsial manusia untuk menuju pengetahuan yang utuh (absolut), yang mewakili semua, bukan hanya mewakili sebagian sekali pun yang sebagian adalah pihak mayoritas.[]
*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.