Separatisme dan Subjektifisme
Oleh de Bruyere*
Dalam pentas pewayangan, Kurawa mengusir Pandawa dari istana, dan menyebabkan perpecahan serta rusaknya keutuhan negeri Hastina. Dengan beban berat dan dalam kondisi terpaksa, Indraprasta harus berdiri sebagai negara baru dan menjadi pilihan satu-satunya. Separatisme selalu menjadi bayang-bayang dari sebuah entitas yang tidak lagi mampu melampaui kepentingan subjektif.
Saya tidak membahas kekuasaan pemerintah pusat yang “gagal” menjadi bijak dan absolut di sini, mungkin di lain kesempatan. Tetapi, maraknya fenomena sosial-politik dari Indonesia Timur yang mengumandangkan separatisme dan tuntutan kemerdekaan dari Indonesia adalah fenomena separatisme. Yakni, penilaian bahwa penguasa pusat tidak mewakili suara mereka. Ada pengalaman, pengetahuan dan keyakinan dari daerah-daerah yang menuntut kemerdekaan dari NKRI adalah bagian dari wujud representasi pengungkapan, bahwa bahwa pemerintah pusat tidak lagi absolut.
Segala macam tuntutan dari daerah memang beralasan, apalagi berangkat dari pengalaman-pengalaman aktual kedaerahan. Pada titik ini, kehadiran mereka sudah memenuhi kategori pengalaman dan pengetahuan fenomenal, dan karena tidak boleh dinegasikan oleh pusat yang mestinya berlaku absolut. Absolutisme kekuasaan dan pemerintah pusat harus ditandai dengan pemenuhan atas kebutuhan setiap daerah, dan jika ini tidak terwujud maka daerah layak menganggap pusat sebagai parsial dan tidak lagi absolut.
Dalam konteks ini, saya pribadi menghargai bila di media sosial sudah mulai bertebaran benih-benih pemikiran yang menuduh : “sudah sepantasnya Maluku menyatakan sikap mengikuti jejak Papua, merdeka lebih baik daripada menjadi beban NKRI, Indonesia hanya Pulau Jawa”. Salah satunya di twitt oleh akun twitter Atjeh Imperial Archives, 3 Oktober 2019. Ini adalah indikasi bahwa daerah melihat pusat menjadi parsial dan berkedudukan sama dengan daerah. Indonesia hanya Pulau Jawa adalah narasi filosofis bahwa yang absolut telah jatuh marwahnya menjadi ikut-ikutan parsial.
Jean Hyppolit mengatakan: “Absolute knowledge is not abandoned”. Pengetahuan absolut tidak bisa dibatasi. Pengalaman absolut tidak bisa dikategorisasi. Selama muncul argumentasi bahwa suatu entitas bercirikan kategori terbatas maka pada saat itu pula entitas tersebut tidak layak menyandang absolut. Selama daerah melihat kebijakan-kebijakan strategis pemerintah pusat tidak mewakili daerah, maka saat itu pula pemerintah pusat tidak lagi absolut. Sebab, yang absolut tidak akan terbatasi. Pembatasan hanya berada dalam satu kategori, dan tidak mencerminkan kategori di luar dirinya.
Seruan separatisme memang subjektif. Separatisme itu sendiri adalah subjektifitas. Dalam artian, daerah yang menuntut kemerdekaan tidak meniscayakan tuntutan yang sama dari daerah lain. Separatisme dan subjektifisme bagaikan dua sisi uang logam, yang saling menjelaskan satu sama lain. Sekarang masalah utamanya adalah bagaimana subjektifisme ini bisa dilampaui, dengan sebuah kebijakan nasional yang mewakili kebutuhan lokal regional?
Jean Hyppolite mengatakan: “the absolute is no longer only substance; it is subject as well.” Yang-Absolut itu bukan semata-mata substansi melainkan ia juga subjek. Kekuasaan absolut itu bukan saja ide abstrak, melainkan entitas hidup yang bisa memutuskan sikap. Pemerintahan pusat itu bukan saja harus ada, tetapi memang harus membuktikan keberadaan dan kehadirannya. Kehadiran subjek absolut di tengah-tengah parsialitas kedaerahan adalah pembuktian keberadaannya.
Mengingat tulisan-tulisan sebelumnya tentang kewajiban yang-absolut untuk melampaui bukan menegasikan, maka kehadiran pemerintah pusat ke tengah-tengah kepentingan daerah bukan represif. Kehadiran yang represif adalah bahasa lain dari sebuah negasi itu sendiri. Ketika kehadiran berwujud negasi maka secara otomatis pemerintah pusat tidak mampu bertindak absolut dan layak menyandang status dirinya sebagai yang parsial. Jika pusat sampai jatuh ke dalam jurang parsialitas ini, maka subjektifisme, separatisme, dan perpecahan NKRI memang layak terjadi, sebagaimana Hastina harus rela melihat kebangkitan Indraprasta.
Sebagai penutup tulisan ini, sekaligus nasehat untuk penguasa pusat, saya kutipkan kata-kata Jean Hyppolite : ” Such appears to us the general meaining of the reintegration of the point of view of the I”. Yang-absolut itu haruslah tampak pada kita semua sebagai makna umum yang mengupayakan reintegrasi segala sudut pandang tentang diri (aku). Kekuasaan absolut itu harus hadir dengan mampu melayani semua yang parsial dan subjektif. Reintegrasi tuntutan-tuntutan kedaerahan harus dilakukan demi keutuhan bersama. Jika tidak mampu, berarti ada yang gagal dalam memerankan diri jadi penguasa.[]
*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.