Merosotnya Kesadaran Kolektif
Oleh de Bruyere*
“…Kulihat Ibu pertiwi
Lagi bersusah hati
Air matanya berlinang
Putra-putrinya berperang..”
Jean Hyppolite membicarakan suatu proses manifestasi dari yang-absolut ke kesadaran. Ia mengatakan, “the essence of the absolute is to manifest itself to consciousness, to be self-consciousness.” Esensi yang-absolut adalah memanifestasikan dirinya pada kesadaran, sehingga menjadi kesadaran itu sendiri. Yang-absolut tidak lagi berada di menara gading, tetapi lebih membumi dan hidup. Yang-absolut menjadi subjek.
Penulis rasa hal ini adalah tahapan “tanazzul”, yaitu gerak turun dari puncak ke lereng bukit kesadaran. Yang-absolut memang terbentuk dari tahapan “taraqqi”, naik, atau mendaki kesadaran tertinggi. Namun, pada tahapan selanjutnya, pencapaian ide absolut akan sampai pada gagasan yang mewakili semua ragam jenis pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan tidak cukup berhenti smpai di situ. Ide absolut tidak terpisah dari yang-parsial, yang merupakan bahan-bahan utama terbentuknya yang-absolut sejak awal.
Tahapan “tanazzul”, dalam bahasa Jean Hyppolite, adalah bingkai manifestasi esensi yang-absolut ke dalam kesadaran, sampai yang absolut tersebut menjadi kesadaran seluruh umat manusia. Sampai di sini perlu menghadirkan contoh real dalam keseharian kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir dari upaya menemukan pijakan bersama dari keragaman. Hal itu ampuh dan teruji pada masannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ide NKRI terus mengalami ujian demi ujian sampai pada tahap di mana satu generasi dihadapkan pada pilihan: mempertahankan atau melepaskan ide NKRI itu.
Persatuan dan kesatuan dalam keragaman merupakan esensi NKRI, tetapi abstrak semacam itu dipahami secara kolektif dan menjadi kesadaran kolektif pada masannya. Hari ini persoalan kebangsaan terus berubah, dan benih-benih perpecahan mulai tampak. Tentu saja kita tidak akan jauh membahas apa saja argumentasi di balik keinginan-keinginan daerah melepaskan diri dari NKRI. Sebab, pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan mereka tidak akan sepenuhnya dipahami oleh orang luar yang berbeda.
akan tetapi, di titik bahwa separatisme muncul ke permukaan adalah simbol merosotnya kesadaran kolektif dan diragukannya ide absolut NKRI. Atau, separatisme bukan saja menyuarakan merosotnya kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan melainkan juga gagalnya ide absolut memanifestasikan dirinya sendiri sehingga menjadi kesadaran parsial. Bila ini terjadi tentu saja ada yang bermasalah pada orang-orang yang sedang duduk di tahta kekuasaan. Ide absolut yang mereka pertahankan sebagai nakhoda NKRI gagal memanifestai dan membumi untuk di kalangan komponen daerah.
Kita dapat melakukan kritik melalui dua sudut. Pertama, apakah daerah sudah tidak mengerti apa itu persatuan dan kesatuan? Kedua, apakah pusat sudah tidak mampu menerjemahkan apa itu persatuan dan kesatuan sehingga daerah jadi paham?
Kritik semacam ini layak diajukan. Jean Hyppolite mengatakan, ” the critique of experience is extended from theoretical experience alone to ethical, juridical, and religious experience as well.” Kritik pengalaman dapat dibentangkan dari yang bersifat teoritis, ke etis, yuridis, bahkan religius. Batu uji harus dilakukan dengan menggunakan banyak variabel. Misalnya, jika pemerintah mengatakan NKRI itu penting maka apakah nilai penting yang mereka suarakan itu dapat diuji melalui perspektif etis, yuridis, dan religi yang dipegang oleh daerah-daerah? Dalam hal ini, pemerintah harus mampu mempresentasikan di hadapan sidang daerah, tentu dengan segala tuntutannya.
Sebaliknya, jika sebuah daerah sudah merasa tidak penting dan tidak berguna bergabung ke NKRI maka ide itu harus diuji sidang dalam pengadilan kesadaran kolektif, yang dihadiri oleh daerah-daerah lain. Apakah nalar satu daerah bisa diterima oleh daerah-daerah lain, sehingga perpisahan satu daerah dari NKRI tidak merugikan yang lain; keuntungan dan kerugian hanya melokal dan terbatas pada diri mereka sendiri. Seluruh variabel harus dipakai dalam “pengadilan ide” ini.
Lebih sederhanannya dapat kita contohkan dengan ibarat sebagian anggota tubuh terserang penyakit. Sekalipun penyakit hanya menempel pada satu bagian tubuh, tetapi, hati dan pikiran terlibat memutuskan apakah harus diamputasi atau harus ditempuh jalur-jalur lain agar tidak terjadi amputasi. Bahkan, lebih ekstrim, kesepakatan anggota keluarga yang tidak sakit juga menentukan apakah yang sakit harus dioperasi atau tidak. Inilah yang dimaksud Jean Hyppolite bahwa teori pengalaman harus diuji dengan banyak variabel, seperti etika, hukum, bahkan agama.
*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.