Oleh de Bruyere*
Kadang saya berpikir, apakah orang lain berpikir seperti yang saya pikirkan. Anggap saja Tuhan Sang Pencipta itu memang benar begitu, seperti agama-agama yakini, lantas apakah iya semua orang berkeyakinan akan Tuhan? Sepanjang yang saya tahu, agama menciptakan musuhnya sendiri, yang kemudian disebut sebagai orang kafir. Anggap saja orang tidak percaya Tuhan itu ada, saya jadi bingung apakah ketidakpercayaan bisa disebut sebuah pengalaman pribadi yang sangat personal?
Jean Hyppolite berbicara tentang fenomenologi sebagai bagian awal dari ilmu pengetahun. Katakanlah beriman atau tidak beriman pada Tuhan adalah semata pengalaman parsial manusia secara umum. Yang mengalami Tuhan menjadi beriman, dan yang tidak mengalami Tuhan menjadi kafir. Pengalaman positif dan negatif tentang Tuhan itu seperti dua sisi mata uang, menghadap ke dua arah berbeda dan saling memunggungi. Namun, keduanya mesti sama-sama guna membuat yang lain bisa dimengerti. Dua pengalaman itu saling berhutang budi satu sama lain.
Pengalaman bagi Jean Hyppolite adalah moment of encyclopedia. Saya menafsirinya sebagai dasar awal bagi pengetahuan, yang sepanjang sejarah menjadi ibu kandung pengetahuan, bahkan peradaban, agama. Sebagai muslim, agama saya lahir di abad ke-7 Masehi dan sejak itu hingga sekarang ilmu pengetahuan dan peradaban Islam terus tumbuh berkembang. Hal serupa tampaknya terjadi dalam konteks historis setiap agama. Ini membentuk asumsi dasar saya bahwa agama-agama dunia dibangun atas dasar pengalaman.
Pengalaman, saya pikir, merupakan perkara ganjil. Di dunia yang sama, hidup berdampingan satu sama lain, tapi dunia menghidangkan pengalaman berbeda. Pengalaman kalau begitu bukan dunia melainkan kesadaran (consciousness). Sadar akan dunia membuat dunia memberikan pengalaman. Semakin banyak menyadari dunia semakin banyak pengalaman diraih. Sebaliknya, mengabaikan dunia semakin sedikit yang dapat dipetik.
Kesadaran dengan demikian dimungkinkan berbeda satu sama lain. Lebih cenderung parsial dari pada komprehensif. Tergantung sepenuhnya pada masing-masing individu. Kesadaran pribadi (self-consciousness) yang berbeda-beda pada akhirnya menjadi alasan pengalaman agama pun berbeda. Bukan saja orang kafir tidak bisa mengalami dan menyadari dunia orang beriman, tetapi sesama orang beriman baik dalam satu agama yang sama maupun antar agama berbeda juga tidak bisa saling mengalami.
Seseorang sekali pun tertutup jalan mengalami pengalaman orang lain, ia lebih terbuka jalan untuk lebih dalam memahami pengalaman dirinya sendiri. Di dalam diri seseorang terdapat alasan (reason) yang membuatnya memahami secara rasional pengalamannya sendiri, sehingga ia begitu percaya pada dirinya sendiri, entah itu pengalaman empirik, pengalaman intelektual, maupun pengalaman spiritual. Lebih mudah merasionalisasi pengalaman diri sendiri dari pada menangkap secara utuh pengalaman orang lain di luar dirinya.
Jean Hyppolite sejenak yang saya pahami memang membicarakan tiga aspek penting fenomenologi ini: kesadaran, kesadaran pribadi, dan alasan. Sampai di titik ini, saya menyadari arti penting NKRI sebagai wilayah teritorial yang memberikan kesempatan yang sama pada pengalaman-pengalaman berbeda. Sementara Pancasila adalah wilayah ideologis yang peran dan fungsinya sama dengan wilayah teritorial NKRI. Segala pengalaman berbeda, baik pengalaman ideologis kebangsaan dan kenegaraan maupun pengalaman primordial seperti ras, suku, adat, budaya dan agama, semua itu diberi hak dan kewajiban yang sama; kesempatan yang sama.
Namun, ada faktor lain yang bukan pengalaman, yaitu keinginan. Bila dunia eksternal menyuguhkan pengalaman, dunia internal dalam diri manusia juga demikian. Tetapi, kali ini, suguhan berupa keinginan itu tampak destruktif. Artinya, lebih banyak mendatangkan kerusakan dari pada membantu keutuhan. Keinginan tersebut bersifat ganda: missionaris dan isolatif. Keinginan yang missionaris selalu ditandai dengan bentuk-bentuk klaim bahwa pengalaman dirinya mewakili pengalaman orang lain, dan kadang lebih ekstrem, yakni apabila ada pengalaman berbeda dibanding dirinya haruslah dimusnahkan.
Keinginan yang isolatif malah berkebalikan dari missionaris tadi. Yang isolatif ini memilih mengucilkan diri dari keragaman, mengurus diri sendiri, bahkan cenderung bergerak untuk memisahkan diri dari apapun di luar dirinya. NKRI dan Pancasila sama-sama terancam oleh keinginan-keinginan ini, baik yang missionaris maupun isolatif. Disintegrasi bangsa lahir karena banyak keinginan yang saling memaksakan diri agar jadi pemenang dan diikuti oleh lainnya. Tuntutan kemerdekaan datang dari wilayah-wilayah yang merasa dirugikan dan diabaikan bila terus-menerus bergabung dengan kerumunan.
Persoalan-persoalan kebangsaan semacam itu akan dibahas pada Part.2 dari tulisan tentang catatan gelisah ini. Apakah Jean Hyppolite memberi alternatif?.
*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.