NKRI Bersyariah : Sebuah Pengalaman
Oleh de Bruyere*
Jean Hyppolite telah melihat dengan jernih bagaimana Hegel dengan halus menggeser pengetahuan fenomenal ke pengetahuan absolut. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengumpulkan pengetahuan sebanyak-banyaknya (knowledge of common consciousness) dan membangun pengetahuan di atasnya. Dalam kerja pengumpulan ini, tidak satupun entitas dinegasikan, sebaliknya dihargai sebagai sebuah kehadiran parsial-subjektif.
Pengetahuan absolut merupakan dimensi yang sangat bijaksana, bahkan berjiwa dewasa yang tidak lagi kekanak-kanakan. Betapa kita terbiasa melihat anak-anak kecil yang bertengkar dengan temannya, nangis menjerit-jerit, dan tak lama kemudian berteman kembali. Itu terjadi hanya karena mainannya direbut, atau keinginannya tidak terpenuhi. Pengalaman dan pengetahuan yang kekanak-kanakan bersifat missionaris dan isolatif, seperti yang dibahas pada tulisan sebelumnya.
Karena pengetahuan absolut melangkahkan kakinya sejak awal dari titik pengalaman fenomenal, maka kita tidak bisa melakukan gerak mundur. sehingga untuk mendapatkan pengetahuan absolut tidak bisa kembali lagi ke titik awal keberangkatan tersebut, sebagaimana menarik perkara yang sudah absolut ke perkara yang fenomenal adalah sebuah langkah kemunduran. Bukan mengokohkan keutuhan melainkan mencerai-beraikannya.
Langkah taktis yang Jean Hyppolite tawarkan adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai penyangkalan segala prasangka (refutation of such presuppositions). Penyangkalan prasangka dapat dibatasi dengan ciri-ciri berupa waspada atas penyempitan. Di sini kita tahu bahwa NKRI adalah harga mati yang sudah disepakati bersama sejak awal pembentukan negara kita. Namun, sepanjang perjalanan muncul upaya peyorasi, yang mereka sebut “NKRI Bersyariah”.
Kita patut menghargai ide NKRI Bersyariah sebagai sebuah pengalaman dari putra bangsa. Namun, sebagai sebuah pengalaman yang tidak mewakili keseluruhan. Karena ia pengalaman, kitapun tidak perlu banyak membuang energi untuk beradu argumen. Sebab, mereka punya segudang argumen. Rasionalisasi untuk menyangkalnya akan dihajar balik dengan rasionalisasi yang sama. Pada prinsipnya, pengalaman tertentu tidak menggugurkan pengalaman lainnya.
Jean Hyppolite dalam memaknai Hegel mampu melihat adanya jalur intelektual yang bisa diterjemahkan ke ranah praktis. Yaitu, menggeser pengetahuan fenomenal ke pengetahuan absolut. Dalam ungkapan lain, menggeser pengalaman parsial ke pengalaman absolut. Tentu saja, sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, keinginan setiap kelompok dengan masing-masing pengalaman dan pengetahuan mereka cukup berat melangkahkan kaki mereka, untuk beranjak dari yang parsial ke yang absolut. Karenanya, butuh kekuasaan absolut.
Mari kita bayangkan, konsep NKRI Bersyariah yang oleh kelompok tertentu diajukan itu dapat ditandingi dengan konsep lain, misalnya, NKRI Berketuhanan. Yaitu, konsep NKRI yang sudah ada sejak awal berdirinya negeri ini, yang berasaskan pada Pancasila dan UUD ’45. Konsep NKRI Berketuhanan ini hanya imajinasi penulis secara verbal. Tidak menutup kemungkinan bagi kelompok lain memaknai NKRI dalam konsep masing-masing, sehingga pemaknaan atas NKRI bagaikan festival dan perayaan keragaman tafsir.
Menggeser makna NKRI menjadi NKRI Bersyariah, dalam bahasa Jean Hyppolite, sama saja menarik dari kesadaran bersama ke dalam pusaran kesadaran parsial. Peyorasi. Penyempitan. Ini tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari penghancuran akan keutuhan.
Tempo hari ada seorang kawan bertanya pada saya, namanya Anta, seorang santri yang belajar berpikir di Pondok Pesantren Kaliopak. Dia bertanya: “adakah jenis lain selain keinginan berjenis ganda itu: missionaris dan isolatif?” Kali ini saya jawab: “ya. Ada!”
Jenis keinginan manusia yang ketiga adalah keinginan ekstraktif. Yaitu, keinginan tidak untuk menegasikan yang lain, tetapi lebih pada upaya menarik orang lain ke dalam pusaran dirinya. Ibarat peristiwa Lubang Hitam (Black Hole) di langit yang berdaya serap akan segala apa yang ada di luar dirinya. Hal ini dapat ditemui pada kelompok pendukung NKRI Bersyariah yang coba menarik tafsir NKRI ke dalam konsep NKRI Bersyariah.
Saya kira seperti arahan Jean Hyppolite, lebih bijak seandainya kita tidak menarik pengalaman bersama ke dalam pengalaman parsial, personal maupun kelompok.[]
*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.