Agenda Filsafat Al-Ghazali


Imam Wahyuddin (Dosen Filsafat UGM)

Muhammad Abid Al-Jabiri dalam al-Turâts wa al-Hadâtsah memperlihatkan disiplin keilmuan Islam, termasuk di dalamnya filsafat, dibentuk melalui proses tidak netral. Ilmu lahir dalam konteks kekuasaan politik, di mana pihak penguasa selalu menyisipkan motif ideologis di balik usaha pembakuhan pengetahuan. Seolah-olah pengetahuan itu akademis dan ilmiah (epistemologis), padahal di dalamnya ada agenda politis (ideologis).
Pengalaman ini dialami Sang Hujjatul al-Islâm, Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111) saat menyerang filsafat peripatetik-iluminasi Abu Ali ibn Sina (980-1037). Dalam Tahâfut al-Falâsifah persoalan epistemologis filsafat tidak dapat dihindari dari motif politis-ideologis. Bantahan Al-Ghazali terhadap Aristoteles berdasarkan penuturan Ibn Sina, bertujuan untuk menekan dominasi ajaran Syiah Ismailiyyah yang berkembang di Persia.
Beruntung dua abad berikutnya, filsuf Andalusia Abu Walid ibn Rusyd (1126-1198) melalui Tahâfut al-Tahâfuti, mengoreksi setiap detail inkonsistensi Al-Ghazali. Dalam bantahannya, Ibn Rusyd atau di Barat dikenal Averroes menilai Al-Ghazali telah mencampuraduk filsafat dengan tafsiran teologis. Argumentasi Al-Ghazali dalam kritikannya terhadap filsafat, menurut Averroes, bukan kategori argumentasi demonstratif (burhânî) yang selazimnya digunakan dalam perdebatan filosofis.
Sanggahan Averroes dilakukan dengan objektif dan jujur. Averroes mula-mula memastikan karya terjemahan Aristoteles dengan menkomparasi pelbagai versi terjemahan bahasa Arab yang ada, termasuk versi Hunain ibn Ishaq yang dikenal pesohor penerjemah di era Al-Makmun. Langkah itu diikuti dengan mensarah (menulis komentar) karya-karya Aristoteles dalam tiga versi sekaligus: komentar panjang (lengkap), komentar sedang, dan komentar pendek.
Averroes kemudian menjelaskan cara berpikir Ibn Sina yang tidak sesuai dengan logika berpikir Aristoteles, bahwa yang dikutip Al-Ghazali yang kemudian dinisbatkan kepada Aristoteles sebenarnya merupakan pandangan atau tafsiran Ibn Sina yang sudah dipengaruhi neo-platonisme (Aflâthûn al-Jadîdah). Averroes melihat ini tidak tepat, Al-Ghazali menguliti Aristoteles bukan dari karya sang filsuf langsung melainkan dari tafsiran Ibn Sina.
Ketika Al-Ghazali menulis Tahâfut al-Falâsifah iklim persaingan dua mainstream Sunni dan Syiah tidak boleh dilupakan. Tujuan Al-Ghazali membantah Filsafat Timur (al-hikmah al-masyriqiyyah) Ibn Sina tidak lain untuk menihilkan epistemologi batinsme Syiah Ismailiyyah. Karya Al-Ghazali dapat dibaca dalam frame memanasnya sentimen ideologis antara Sunni dan Syiah. Bagaimanapun Al-Ghazali manusia biasa yang hidup dengan ideologi zamannya, hal biasa dilakukan seorang ilmuan saat berada di kekuasaan sebuah rezim.
Pengetahuan tidak pernah tampil telanjang ataupun jujur, pengetahuan selalu terkait dengan selera zaman atau selera pemilik kuasa. Al-Ghazali memanuhi tuntutan itu, membantu kekuasaan Sunni yaitu Nidzam Mulk untuk mendiskreditkan ajaran batinisme Syiah Ismailiyyah. Batinisme merupakan sistem pengetahuan yang didapat melalui pancaran esoteris, bukan melalui penalaran logis.
Termasuk karya Al-Ghazali Mi’yâr al-Ulûm yang menilai manthiq atau logika adalah instrumen untuk menghasilkan pengetahuan yang benar. Memang secara epistemologis Mi’yâr al-Ulûm dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tetapi secara ideologis maksud yang diketengahkan Al-Ghazali dalam karya tersebut untuk menyerang sistem pengetahuan iluminatif yang berkembang subur di kalangan pengikut Syiah Ismailiyyah.
Pelajaran penting dari kisah sejarah di atas: bahwa pengetahuan selalu bergandengan dengan ideologi penguasa. Karena itu Al-Jabiri menginggatkan tentang pentingnya memilah dalam khazanah keilmuan Islam klasik antara unsur epistemologis yang merupakan core sebuah pengetahuan, di satu sisi, dan unsur ideologis yang merupakan tuntutan politis kekuasaan, di sisi lain. read more

Perjumpaan Tuhan: Jamaah Tarekat Syadiliyyah

Drs. Farid Mustofa, M.Hum   Perjumpaan berasal dari kata jumpa yang berarti dalam kelas nomina atau kata benda, sehingga perjumpaan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Perjumpaan juga dimaknai sebagai makna pertemuan antara satu subjek dengan subjek lainnya. Jika yang dimaksud adalah perjumpaan dengan Tuhan maka hal itu melahirkan pemaknaan terjadinya pertemuan seseorang (manusia) dengan Tuhannya yang Maha Kuasa, menciptakan dan Maha segalnya, atau bisa dikatakan pertemuan pencipta dengan yang diciptakan. William James (1902) dalam The Variates Of Religius Experience Centenary Edition a Studi in Human Nature menjelaskan tentang kasus perjumpaan Tuhan yang dialami oleh George Fox seorang Kristiani yang mendirikan aliran Quaker. James menjelaskan kisah Fox yang mengelami pengalaman berjumpa dengan Tuhan. Kisah Fox diawali dari kegelisahannya terhadap Krisiten Liberal, sehingga Fox berupaya untuk menggali kebenaran al-Kitab. Latar belakang inilah yang kemudian melahirkan semangat Fox untuk melakukan perjalanan spritual. Dalam tradisi tarekat, perjumpaan dengan Tuhan di maknai dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya memalui jalan-jalan kesucian melalui ibadah-ibadah kepada Allah melalui bimbingan para guru/syekh (Said, t.t.: 273), dengan bimbingan-bimbingan tersebut maka akan menghadirkan diri pada Allah dan berjumpa secara ruhiah dengan Tuhan (Allah) (Abudinnata, 2014: 234). Menurut Khairul (2019), perjumpaan dengan Tuhan bukanlah sebuah hal yang mudah di raih, berjumpa berarti melakukan pertemuan dan merasakan kehadirat Tuhan seakan akan hadir dalam diri kita. Dalam tradisi jamaah tarekat Syadiliyyah keberjumpaan kepada Tuhan akan di rasakan melalui riyadah-riyadah amalan-amalan dzikir wajib yang dilaksanakan setiap hari. Setiap jamaah yang sudah melakukan baiat diwajibkan membaca wirid-wirid wajib seperti wirid wajib pagi dan sore. Dalam melaksanakan wirid-wirid tersebut apabila dilakukan dengan penuh penghayatan, ikhlas, dan fokus kepada mursyid maka akan melahirkan perasaan bahagia dan tenang seakan berjumpa dengan dzat yang maha kuasa Allah SWT (Tuhan). Tarekat Syadiliyah adalah tarekat yang muttasil sanadnya sampai kepada Rasulullah, maka posisi sangat sentral untuk menghubungkan kepada Allah SWT dan Rasulullah. Oleh sebab itulah dalam melakukan dzikir-dzikir amalan wajib untuk menghubungkan keberjumpaan dengan Tuhan harus fokus kepada mursyid untuk menyambungkan keberjumpaan kepada Allah. Maka fungsi mursyid dalam tarekat Syadiliyyah adalah wasilah. Menurut Anam (2019), perjumpaan dengan Tuhan itu ialah melakukan wirid-wirid dengan mengfokuskan penghayatan bacaan-bacaanya dengan membayangkan sang mursyid untuk kemudian dihubungkan kepada Allah SWT, menuju keberjumpaan kepada-Nya. Bahkan dalam setiap melaksanakan pertemuan-pertemuan jamaah tarekat Syadiliyyah. Ketika pelaksanaan dzikir berasama yang dipimpin oleh mursyid. Maka para jamaah dengan penuh suasana batin yang sangat luar biasa, seakan-akan menghubungkan kehadirat Allah dan merasakan kehadiran Allah SWT dan Rasulullah. Dalam dzikir-dzikir yang dilaksanakan bersama ini memberikan suasana kebabagiaan yang sangat luar biasa, seakan diri tidak dalam berada dalam dunia tetapi terbang dilangit bersama dengan mursyid menuju Allah SWT. Saat-saat itulah dinakam sebagai perjumpaan dengan Tuhan Allah SWT. Dari beberapa pemaparan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan, Makna perjumpaan dengan Tuhan berati adanya pertemuan antara manusia dengan Tuhannya pada momen-momen tertentu. Pada prinsipnya pertemuan manusia dengan Tuhan dialami oleh orang-orang tertentu yang mengalami realitas perjumpaan dengan Tuhan. Ada yang di tempuh dengan sebuah perjalanan karena mendengar seruan, ada yang di tempuh dengan persekutuan untuk menggapai pertemuan dengan Tuhan, ada yang menggunakan bentuk pengkosongan diri agar dapat bertemu dengan Tuhan dan ada pula yang meraihnya dengan melakukan jalan-jalan Ibadah menuju Tuhan.

Sumber 
Abuddinata. 2014. Akhlak Tasawuf dan karakter Mulia. Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada. 
Alba, Cecep. 2012. Tasawuf Dan Tarekat. Bandung: Remaja Rosdakarya. 
Annemarie Schimmel, 1975, Mystical Dimensions of Islam, The University of North Carolina Press. Chapel Hill. 
Antonius atosokhi, noor Rachmat, Antonina Panca Yuni Wulandari, 2004, Relasi dengan Tuhan, Jakarta, PT Elxmedia Komputindo
Archie J. Bahm, 2011, Yoga: Union with the Ultimate, Literary Licensing, LLC
Atjeh, Aboe Bakar. 1990. Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian-uraian tetang Mistik. Solo: Ramadhani.
Carl W Ernst, 2003, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme (terj: Heppi Sih Rudatin dan Rini Kusumawati). Putra Langit. Yogyakarta.
Christian Doctrine of God, 2001, One Being Three Persons, London, Thomas F. Torrance, A&C Black.
James, William, 1902, The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature, An Electronic Classics Series Publication edited by Jim Manis, Hazleton-Pennsylvania: Pennsylvania State University.
James, William, 2004, The Varieties of Religious Experience: Perjumpaan dengan Tuhan. Terjemahan Gunawan Admiranto, Bandung: Penerbit Mizan.
Zain, Adib. 2005. Mengenal Thariqah. Semarang: Aneka Ilmu, 2005. 
Zuhri, Saifudin. 2011. Tarekat Syadziliyah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial. Yogyakarta: Teras.  read more

Islam Medsos : Yang Hilang Dari Kita

Muhammad Fairuz Rasyid,M.Pd

Istilah Islam Medsos hanyalah frasa komunikasi media sosial. Sebuah ungkapan yang merujuk pada gejala beragama yang marak terjadi di ruang media kita. Hal yang tak sulit dilacak oleh siapapun, bahkan oleh remaja yang baru saja terbangun dari mimpi akil-balignya.

Islam Medsos adalah kegelisahan penulis yang berusaha memotret wajah berislam orang-orang medsos. Hal yang saat ini menjadi sorotan para orang tua yang turut prihatin melihat anaknya "sakau" gawai daripada pergi mengaji. Sementara frasa selanjutnya terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Prof. Quraish Shihab dengan judul yang sama. Buku tersebut secara mendalam mengkaji mengenai akhlak yang dinilai telah meredup pancarannya di tengah-tengah kehidupan beragama kita. Sehingga dapat dikatakan Islam Medsos berkaitan dengan praksis yang kehilangan dimensi akhlak. Anda tentu memiliki akun facebook atau twitter atau instagram pribadi bukan? Anda pernah mengikuti sebuah grup atau postingan dengan nada memancing untuk diskusi perihal keagamaan? Coba perhatikan kolom komentar lantas cermati bagaimana setiap akun menyuarakan pendapatnya. Tentu disana terdapat akun yang berpendapat secara sopan dengan bahasa lugas, adapula yang berkomentar dengan nada jenaka. Namun tidak sedikit pula yang berkomentar dengan nada menjelekkan, sumpah serapah, disinformasi, tidak nyambung dengan status, atau bahkan melabeli anda dengan cap kafir, munafik, murtad, dan tuduhan lain yang tak berdasar lainnya. Secara personal mungkin kita tidak mengalaminya, namun terdapat beberapa fanpage atau akun tokoh publik yang mengalaminya dan akan sangat mudah bagi kita untuk menemukan komentar-komentar bernada "aneh" tersebut disana. Sering terjadi di medsos, adanya semacam pengakuan berlebihan atas kebenaran suatu pendapat sehingga menimbulkan sikap menyalahkan pihak lain yang berbeda. Banyak sekali konfrontasi terjadi di ruang medsos, apalagi ketika membicarakan kekuasaan. Identitas keagamaan secara otoriter memainkan peran luar biasa disana. Sejatinya meski kritik virtual akhlak tetap dinomorsatukan (Hakim, 2018: 3). Bagaimana secara eksplisit Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa tradisi ulama terdahulu meski saling mengkritik, tetapi pada dasarnya mereka saling mendoakan dan memohonkan rahmat (M. Quraish Shihab, 2016: 37), hal demikian mudah ditemukan pada naskah kitab-kitab ulama terdahulu. Coba kita bandingkan dengan akhlak orang-orang yang mengaku sebagai santri atau murid dari ulama di atas. Sopan-santun di ruang medsos tampaknya terkikis dengan dalih pembenar bahwa komunikasi yang terjadi bukan face to face. Komunukasi virtual telah menjadi perisai yang menambah kebanyakan orang untuk berani bersikap secara terbuka dan terkadang berlebihan (Hakim, 2018: 11). Ketidakhadiran ruang tatap-muka justru menjadi persembunyian yang membuat setiap orang berkesempatan untuk lempar batu sembunyi tangan. Urun-rembuk pendapat bukanlah sesuatu yang dilarang, namun "memaksakan" pendapat seraya memaksa orang lain untuk meyakininya adalah tidak terpuji ditambah lagi dengan caci-maki. Menguatkan argumen berbeda dengan memaksakan kehendak. Menguatkan pendapat berarti meneguhkan argumen supaya lebih meyakinkan dan karenanya tidak ada pertentangan untuk menerimanya. Sementara memaksakan pendapat lebih sering bermakna intimidasi dan ancaman supaya pendapatnya diterima oleh orang lain. read more

Filsafat dan Agama: Dari Nalar Falsafi Hingga Qurani

Luthfi Maulana, M.Ag

Pada mulanya Filsafat dan Agama adalah dua kata yang berbeda. Namun kemudian menjadi kesatuan yang utuh, karena keduannya memiliki maksud dan tujuan yang sama. Filsafat memiliki tujuan untuk mengajak manusia mencintai kebijaksanaan, dalam pada prosesnya, tentu membutuhkan akal dan nalar manusia. Hal ini senada dengan istilah filsafat yang berasal dari dua kata “philos” cinta dan “sophia” berarti kebijaksanaan, maka filsafat menghasilkan makna mencintai kebijaksanaan (Hakim, 2008: 14). Agama-pun juga demikian, ia merupakan sebuah pedoman yang mengajak manusia untuk mencintai kebijaksanaan, sehingga menghasilkan pola kehidupan manusia yang teratur (Tafsir, 2010: 8), baik untuk menjalankan aktivitas kepada sesama manusia maupun manusia kepada Tuhan-Nya (Nasution, 2008: 2). Dua kesamaan tujuan itulah yang membuat keduanya dapat berdampingan dan menyatu melahirkan sebuah kerangka yang baru, yakni filsafat agama. read more