Negara : Medan Perebutan Materi

Negara : Medan Perebutan Materi


Oleh de Bruyere*

“… Apalah arti NKRI
Bila memeram benci
Air, hutan, isi bumi
Makam kematian bagi hati…”

Jean Hyppolite mengatakan, “Phenomenal understanding, as apposed to nature, was then led by philosophic reflection to the transcendental understanding that founds all (theoretical) experience as original synthetic unity.” Tujuan utama dari pemahaman transendental adalah menemukan persatuan sebagai sebuah sintesa dari keragaman. Persatuan sintesis tersebut lahir berkat dorongan refleksi filosofis, yang mampu mengangkat kesadaran parsial ke tahap yang lebih tinggi. Di puncak tinggi ini, kesadaran tertinggi terbentuk berupa keutuhan yang mewakili keseluruhan.

Namun, dalam perjalanan panjang, dari titik parsialitas menuju sintesis selalu saja banyak rintangan dan harapan. Perjalanan refleksi filosofis ini tidak serta merta aman dari para perompak dan perampok, yang sering menunggui jalan-jalan sunyi dan sepi. Para begal jalanan ini dapat membengkokkan refleksi filosofis yang bercita-cita menarik pemahaman parsial ke puncak tertingginya guna melahirkan persatuan dan kesatuan sintesis.

Secara teoritis di atas kertas, Jean Hyppolite memang membentangkan jalan bagaimana sistesis itu terbentuk. Namun, apa saja halangan dan rintangan tidak begitu jelas dipaparkan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sintesis filosofis, yang menampung kemajemukan warga negara. Beragam etnis, budaya, adat-istiadat, dan agama, tertampung dalam wadah tunggal bernama NKRI. Tetapi, berulang kali NKRI menghadapi ujian berat seiring perjalanan waktu.

Pengalaman-pengalaman kedaerahan yang parsial adalah titik pijak untuk membangun sintesis. Tetapi, perjalanan membangun persatuan sistesis dari berbagai tuntutan kedaerahan bukan perkara gampang. Misalnya, sebuah berita berjudul “Komnas HAM Panggil Mualem Terkait Kasus di Timang Gajah” (Serambinews, 9/10/2019). Kemudian, akun twitter Atjeh Imperial Archives memaknai kasus tersebut dengan pernyataan yang emosional, katanya: “GAM Pro NKRI tak ubahnya seperti kambing. Setelah kenyang diberi umpan, maka satu-satu dieksekusi. Setelah Irwandi kini menyusul Muzakir Manaf. Karma pengkhianat bangsa Acheh,” (9/10/2019).

Tentu saja tulisan ini tidak memaknai benar-salah dari letupan-letupan emosional akun twitter tersebut. Karena ia memiliki pengalamannya sendiri, pengetahuan dan keyakinannya sendiri. Tidak ada gunanya mengajukan sanggahan, karena pasti akan dilawan dengan sanggahan. Tetapi, fenomena sosial-politik semacam ini adalah sebuah kehadiran eksistensial dan esensial dari pengalaman hidup kebangsaan kita. Ini bukti bahwa ada elemen dalam republik ini yang menilai bahwa bergabung pada NKRI sebagai bentuk penghianatan atas cita-cita parsial kedaerahan.

Egoisme sektoral, cita-cita parsial, tuntutan kedaerahan dalam konteks NKRI, semua itu adalah hambatan bagi upaya refleksi filosofis untuk menemukan kesatuan sintesis. Jean Hyppolite belum begitu konkrit dalam memberikan panduan, bagaimana mengatasi hambatan pemikiran di dalam kondisi yang terjepit oleh egoisme sektoral. Kita memang dengan mudah menyerukan, agar setiap orang di seluruh penjuru tanah air mengedepankan persatuan dan kesatuan. Namun, ini seruan etis bukan seruan filosofis. Sebab, di sana ada banyak kebuntuan jalan berpikir.

Para pendukung separatisme, yang hendak memisahkan diri dari NKRI, pastilah kesadaran mereka tertutup jalan. Mereka tidak akan melihat bagaimana cara memuaskan pengalaman, memuaskan pikiran dan keyakinan, sehingga mereka berlapang dada dan terbuka pikiran bahwa NKRI memang lebih penting daripada perpecahan. Pemisahan daerah dari NKRI sedikit mendatangkan manfaat dan jauh lebih merugikan dibanding saat bergabung dengan NKRI. Kesadaran semacam ini akan sulit diterima oleh akal rasional para pendukung separatisme.

Jean Hyppolite belum menyadari bahwa pengujian ide absolut dengan banyak variabel, pengujian pengalaman teoritis dengan variabel etis, yuridis, bahkan agama, adalah hambatan paling menantang terbentuknya ide absolut itu sendiri. Semakin banyak variabel digunakan maka semakin sulit ide absolut termanifes dalam kesadaran parsial. Di atas kertas memang mudah diucapkan dan dibayangkan. Tetapi, di lapangan dan dalam kehidupan real umat manusia, membentuk ide absolut di hadapan banyak kepentingan pragmatis-politis adalah perkara berat. Mungkin manusia terlebih dahulu mati sebelum ide absolut itu lahir.

Mungkin NKRI akan lebih dahulu pecah berantakan, sebelum ide NKRI diterima secara lapang dada oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Kita tidak boleh mengabaikan penolak satu orangpun, karena jika kita mengabaikannya maka kita akan terjebak pada cara berpikir kolot; yaitu mengutamakan yang banyak dan mengorbankan yang sedikit. Atau sebuah pepatah klasik dari literatur Arab : “la yutraku kulluh ma lam yudraku kulluh (sesuatu yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan dilepaskan seluruhnya)”. Jika ini terjadi dan terulang lagi maka kita tidak beranjak menuju pemikiran yang lebih baru.

Menjadikan NKRI diterima oleh seluruh warga, tanpa penolakan dari seorangpun, adalah cita-cita ideal; sintesis persatuan dari keragaman. Namun, ide ideal ini terhambat oleh keinginan pragmatis-materialis. Atau bahkan, alasan-alasan pragmatis-materialis itu sendiri yang selama ini menjelma sebagai ‘perompak’ dan ‘perampok’ yang berjejer di sepanjang jalan menuju titik kesatuan dan persatuan. Tampaknya alasan ini tidak berlebihan mengingat rata-rata dan dominan kritik daerah pada upaya selalu disertai oleh ketimpangan ekonomi, pembagian gep kesejahteraan, ketidakadilan praktik hukum, dan alasan-alasan pragmatis lainnya.

Alasan pragmatis-materialisme mencegah negara dan pemerintah menjalankan ide absolut. Dan pada persoalan yang sama, penguasa sering terjebak pada kepentingan sempitnya; misal melayani kelompok dan partainya, dan kejahatan-kejahatan penyelewengan kekuasaan lainnya. Karenanya, negara lebih tampak sebagai medan laga memperebutkan sumberdaya alam. Kekayaan. Harta. Jabatan.

Kekuasaan sudah tidak tampak sebagau medan pemikiran, kebijaksanaan, dan kearifan. Sebaliknya, kekuasaan lebih tampak sebagai ajang berebut materi antara pusat dan daerah. Karena itulah, tidak heran apabila beberapa daerah yang merasa dirugikan dan merasa kalah dari pusat, mengutuk pusat atas persoalan ini. Ada nilai yang tidak beres. Dan semua pembuktiannya menyangkut setumpuk persoalan “materi”.

*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.

Post Author: agama.filsafat

Filsafat Agama merupakan Kerangka Filosofis sebagai analisis membaca Agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.