JEANS DAN SIMBOL EGALITARIANISME

JEANS : Simbol Egaliterisme

Oleh Muhammad Muhibbuddin*

Jika persoalan rasisme mencuat ke permukaan, biasanya akan segera disusul dengan hadirnya diskursus egalitarianisme sebagai counter back-nya. Egalitarianisme seolah menjadi wacana tandingan bagi rasisme.

Berpikiran dan berprilaku rasis, secara langsung atau tidak, akan berhadap-hadapan dengan prinsip-prinsip kesetaraan yang berlaku di ruang sosial-politik. Prinsip kesetaraan ini harus dijunjung tinggi terutama di suatu masyarakat atau negara yang plural dan multikultural, sebagai upaya untuk melegitimasinya.

Pewacanaan diskursus konsep egalitarianisme biasanya merujuk pada teori-teori sosial, politik, filsafat bahkan nilai-nilai agama.
Akan tetapi, bicara mengenai semangat egalitarianisme sesungguhnya tidak melulu harus merujuk pada teori-teori filsafat dan sosial-politik yang rumit dan jlimet, melainkan bisa melalui produk-produk populer di masyarakat seperti Jeans.

Jeans adalah sebuah produk celana yang akrab di kalangan anak muda, dan Jeans adalah sebuah  simbol budaya Amerika. Selain Jeans ada banyak simbol budaya Amerika lainnya seperti Dollar ($), KFC, Coca-Cola, Uncle Sam, White House, Patung Liberty dan sebagainya. Jeans menjadi simbol budaya Amerika yang mengandung  semangat egalitarianisme di kalangan warga Amerika Serikat.

Dari Kekacaun Politik
Sejarah jeans menjadi simbol kultural warga Amerika telah melalui proses yang panjang. Dalam sebuah esai The Jeansing of America And The World, Carin C. Quinn menjelaskan bahwa secara historis, jeans tidak bisa lepas dari orang Yahudi bernama Levi Strauss, sebab dari tangannya celana ini lahir ke dunia.

Levi, yang lahir pada 1829, adalah warga Yahudi Jerman. Sejarah Levi menemukan jeans ini konon terkait dengan pergolakan sosial dan politik di Eropa.

Berawal pada 1848, masa di mana Eropa dilanda kekacauan politik (political turmoil), Levi memilih menjadi imigran ke Amerika Serikat. Selain untuk menyusul saudaranya yang sudah terlebih dahulu pindah ke Amerika, ia juga hendak mencari kehidupan yang layak. Eropa saat itu, bagi Levi, sudah tidak kondusif lagi untuk dijadikan sebagai tempat melanjutkan hidup.

Keinginan Levi untuk angkat kaki ke Amerika Serikat semakin besar setelah saudaranya yang telah tinggal di Amerika Serikat mengabarkan kepadanya tentang enaknya dan indahnya hidup di negeri Paman Sam itu.

Pada pertengahan abad 19 itu, Eropa memang tengah dilanda revolusi. Puncaknya adalah Revolusi 1848 yang merubah sistem politik Eropa dari feodalistis menjadi demokratis.

Revolusi yang konon berawal di Sisilia, kemudian melebar ke Prancis dan pada akhirnya menyebar ke negara-negara Eropa lainnya itu, menjadikan Benua Biru saat itu menjadi area mencekam yang membuat orang tidak betah untuk tinggal di dalamnya. Karenanya, banyak warga Eropa saat itu yang pindah ke Amerika Serikat.

Levi termasuk orang yang ditimpa ketidaknyamanan yang terjadi di Eropa ini, sehingga dirinya pun turut hijrah ke Amerika Serikat.Namun sesampainya di Amerika Serikat Levi langsung kecewa sebab apa yang diceritakan oleh saudaranya tentang kenyamanan dan keindahan hidup di Amerika Serikat tidak terbukti.

Pekerjaan enak dan mapan yang ia impikan ternyata juga sulit didapatkan. Sebagai gantinya, ia terpaksa menjadi pedagang keliling alias mindring untuk menjual barang-barang rumah tangga seperti gayung, ember, gunting, panci, benang dan barang sejenisnya. Selama dua tahun Levi bekerja sebagai mindring di Amerika Serikat.

Pada 1850, nasib Levi mulai berubah. Perubahan ini terjadi ketika di tahun itu Levi pergi ke Amerika bagian Barat (The West), tepatnya ke San Fransisco, untuk menghadiri pernikahan saudaranya. Saat itu, wilayah Amerika bagian Barat dikenal sebagai area pertambangan emas. Ketika melakukan perjalanannya ke wilayah barat Amerika itu, Levi membawa barang dagangan untuk dijual, salah satunya kain kanvas yang bisa digunakan sebagai kemah/tenda bagi para penambang. Namun kanvas yang dibawanya itu tidak cocok untuk pembuatan kemah.

Dari situlah nasib baik justru menghampiri Levi, yaitu saat dirinya bertemu dengan seorang penambang. Dari pertemuannya dengan buruh tambang emas ini, Levi melihat tidak adanya celana yang kuat (sturdy pants) yang dipakai oleh para penambang. Levi kemudian mengukur tubuh buruh tambang yang ditemuinya itu, lalu pergi ke penjahit untuk membuat celana dengan bahan dari kain kanvas yang ia bawa tersebut.

Celana dari bahan kanvas itu kemudian dijual ke buruh tambang, dan penambang itu sangat suka dengan celana buatan Levi tersebut. Maka saat itulah tersebar di kalangan buruh tambang tentang Celananya Levi (Levis), yaitu celana buatan Levi yang kelak dikenal dengan “Jeans”. Istilah “Jeans” sendiri berasal dari bahasa Prancis, Genoa (Genes), tempat diproduksinya kain celana tersebut.

Dari sini, Levi lalu memulai usaha barunya dengan berbisnis jeans dan menjadikan istilah Levis, sebagai merk utamanya. Dilihat dari sejarah kemunculan jeans tersebut, Levis merupakan merk jeans tertua dan paling melegenda. Hingga sekarang merk Levis masih menjadi merk terkenal di dunia jeans di samping merk-merk jeans lain yang muncul setelahnya seperti Lea, Wrangler, Lois, Lee Cooper, Guess, Iron Heart dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, celana jeans itu dilengkapi dengan logam kecil dan berbentuk bulat yang disebut rivets. Logam kecil yang dipasang di saku jeans ini merupakan temuan seorang penjahit, Jacob W.Davis, ketika menghadapi buruh tambang yang marah-marah karena saku jeans yang dipakainya selalu robek ketika diisi batu-batu tambang emas yang telah digalinya.

Rivets sendiri kemudian dipatenkan atas nama Davis. Akhirnya, jeans buatan Levi itu pun menjadi bisnis besar yang menyebar ke berbagai belahan dunia. Sampai sekarang ini, jeans dengan berbagai modelnya yang sudah mengalami banyak inovasi, masih menjadi celana favorit bagi sebagian besar orang. Memakai jeans selain terkesan santai dan tidak formal, juga nampak gaul.

Dari sejarahnya itu bisa diketahui bahwa jeans pada awalnya adalah celana yang digunakan oleh para penambang, lalu sebagai konsekuensi meningkatnya gairah dan hasrat kapitalisme diproduksi massal sehingga menjadi celana yang populer di masyarakat umum, terutama dikalangan anak muda, dari berbagai negara. Bahkan di Amerika, jeans menjadi pakaian yang mempunyai nilai sejarah sehingga menjadi salah satu simbol budaya bagi negeri itu. Karenanya, kata Quinn, sebuah museum telah didirikan di San Fransisco guna mengabadikan sejarah jeans. Peristiwa-peristiwa historis yang berkaitan dengan jeans ditampilkan di museum ini.

Spirit Egalitarianisme
Seperti telah disebutkan sebelumnya, jeans merupakan produk budaya yang menjadi simbol Amerika paling kuat. Kenapa? karena barang satu ini menggambarkan semangat egalitarianisme warga Amerika. Alexis de Tocquevile menyebut jeans sebagai semangat yang kuat dan sah untuk kesetaraan.

Jeans menjadi simbol egalitarianisme warga Amerika karena menurut Quinn, celana ini dipakai dan disukai oleh semua kelas warga Amerika: dari birokrat sampai cowboys; konglomerat sampai orang melarat, kaum intelektual hingga anak jalanan, kulit putih maupun kulit hitam, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Artinya, jeans mampu meruntuhkan sekat-sekat primordial dan kelas sosial yang ada. Ketika warga Amerika memakai jeans, kata Quinn, hilanglah perbedaan di antara mereka dan yang tersisa dari mereka cuma satu: warga Amerika.
Sebagai negara yang menjadi kiblat demokrasi dunia, prinsip egalitarianisme sangat melekat dalam budaya Amerika. Namun belakangan, paska Donald Trump terpilih sebagai presiden, Amerika seperti rilis Economist Intellegence Unit (EIU) pada 2018 kemarin turun rangkingnya dengan menjadi negara demokrasi yang cacat ( flawed democracy).

Apakah turun kelasnya Amerika sebagai negara demokrasi itu terkait kebijakan politik Trump yang cenderung sektarian dan diskriminatif, terutama terhadap warga imigran (non-pribumi)?. Entahlah, tapi yang jelas, sebagaimana facebook atau KFC, jeans tak mengenal pribumi maupun non-pribumi; imigran atau non-imigran, karenanya, ia tetap disukai oleh banyak orang dari berbagai dunia, suku, agama maupun warna kulit.

*Muhammad Muhibbuddin adalah Penulis Lepas, tinggal di Krapyak, Yogyakarta.

Post Author: agama.filsafat

Filsafat Agama merupakan Kerangka Filosofis sebagai analisis membaca Agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.