Melampaui Identitas Pengetahuan

Melampaui Identitas Pengetahuan

Oleh de Bruyere*

Problem berpikir bukan terletak pada kemampuannya dalam membuktikan kebeneran. Merasionalisasi pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan tidak menyelesaikan problem identitas subjektif. Sebab, memang begitulah watak alamiah berpikir, di mana orang awam dan intelek berada pada level yang sederajat. Sehingga cara paling tepat mendefinisikan intelektual adalah dengan menandai kemampuan dirinya melepaskan diri dari identitas yang subjektif, memberikan metode yang bisa dicontoh orang lain agar bisa keluar dari subjektifitas.

Hegel, kata Jean Hyppolite, membawa filsafat tidak duduk berpangku tangan. Filsafat mengajak seseorang berpikir untuk melampaui identitas pengetahuan. “To pass beyond the critical point of view and to start straight off with the absolute identity of the subjective and the objective in knowledge.”

Dengan mempelajari identitas-identitas subjektif, berpikir dapat melampauinya. Sederhanannya, setiap orang sudah secara otomatis memiliki identitas diri masing-masing; dibangun di atas kombinasi dan kolaborasi dari komponen-komponen berupa pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan. Sedangan berpikir memiliki tugas melampaui ramuan ampuh kombinasi ini.

Jujur saja, usia saya sangat muda dan tidak mengerti bagaimana para founding fathers berpikir membangun konsep NKRI; suatu imajinasi yang coba menampung keragaman dalam satu wadah persatuan. NKRI secara substansi merupakan metodologi berpikir atau epistemologi yang mengajar berpikir melampaui identitas subjektif tanpa menegasikannya. Identitas subjektif seperti perbedaan bahasa, adat, budaya, suku, agama, dan pulau, tetap dipertahankan. Tetapi pada saat yang sama, NKRI menjadi “aula” yang mempertemukan setiap identitas subjektif itu.

Melampaui identitas subjektif membuat saya berpikir, apakah Jean Hyppolite hendak bicara tentang dua kecenderungan berpikir; pertama, berpijak pada apa yang disebut dan diklaim sebagai subjektif dan objektif, dan kedua, beranjak untuk melampauinya. Jika iya maka mungkin saja para pendiri bangsa kita melalui konsepnya tentang NKRI telah jauh, lebih jauh dibanding kita, dalam memandang apa yang subjektif dan yang objektif.

Pluralitas komponen kebangsaan kita adalah objektif. Kenyataan yang tak mungkin dinegasikan. Kehadiran yang sudah primordial. Tinggal kita jaga agar tetap terpelihara, dan jangan sampai musnah entah karena apa saja. Tetapi, bila lebih dalam melihat pluralitas itu, kita temui sejatinya berasal dari kehendak subjektif untuk mempertahankan subjektifitas masing-masing. Setiap masyarakat adat berjuang mempertahankan identitas masing-masing, baik identitas budaya, agama, maupun kearifan masing-masing. Hutang budi pada perjuangan komponen ini dalam melestarikan dirinya sendiri, tidak bisa diabaikan begitu saja.

NKRI bukan saja tentang cara berpikir agar yang objektif tetap ada dan yang subjektif terus berjuang. Lebih dari itu, NKRI mengajak untuk melampaui semua itu. Tetapi, menjadi NKRI tidak mudah karena adanya keinginan-keinginan, baik yang missionaris maupun isolatif. Keinginan-keinginan yang mau menang sendiri dan yang memisahkan diri. Keinginan-keinginan yang dirasionalisasi dari pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan yang tak mau beranjak melampaui dirinya sendiri.

Tentang “melampaui (to pass beyond)” ini, kita dapat menghadirkan sejumlah contoh. Dengan semaraknya ide menentang NKRI, kita dapat menyimpulkan betapa gerak melampaui sangat berat terwujud. Sebaliknya, gerak merosot atau gerak stagnan sangat rentan terjadi sekaligus menjadi godaan berpikir yang paling memukau. Yang saya maksud dengan gerak merosot adalah keinginan yang missionaris maupun isolatif. Bagi mereka yang menolak menjadi NKRI terasa lebih gampang untuk menjadi dirinya sendiri dan berat untuk melampaui dirinya sendiri.

*Pecinta buku. Tinggal di Kediri, sesekali di Jogja.

Post Author: agama.filsafat

Filsafat Agama merupakan Kerangka Filosofis sebagai analisis membaca Agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.