Tafsir Harian atas Jean Hyppolite

Oleh de Bruyere*

Kadang saya berpikir, apakah orang lain berpikir seperti yang saya pikirkan. Anggap saja Tuhan Sang Pencipta itu memang benar begitu, seperti agama-agama yakini, lantas apakah iya semua orang berkeyakinan akan Tuhan? Sepanjang yang saya tahu, agama menciptakan musuhnya sendiri, yang kemudian disebut sebagai orang kafir. Anggap saja orang tidak percaya Tuhan itu ada, saya jadi bingung apakah ketidakpercayaan bisa disebut sebuah pengalaman pribadi yang sangat personal?

Jean Hyppolite berbicara tentang fenomenologi sebagai bagian awal dari ilmu pengetahun. Katakanlah beriman atau tidak beriman pada Tuhan adalah semata pengalaman parsial manusia secara umum. Yang mengalami Tuhan menjadi beriman, dan yang tidak mengalami Tuhan menjadi kafir. Pengalaman positif dan negatif tentang Tuhan itu seperti dua sisi mata uang, menghadap ke dua arah berbeda dan saling memunggungi. Namun, keduanya mesti sama-sama guna membuat yang lain bisa dimengerti. Dua pengalaman itu saling berhutang budi satu sama lain. read more

Kant: Memimpikan Sebuah Perdamaian


Reza Bahtiar R., M.A

Berbicara perdamaian, seakan kita sedang digiring menembus Sidratul Muntaha, tempat dimana kanjeng nabi Muhammad sowan kehadirat Allah. Absurd..!!!, kata para kaum kafir Quraisy waktu itu. Tetapi mungkin, jika kita ada di waktu itu, tak menutup kemungkinan akan bersikap sama.
Kembali pada perdamaian, dimana doktrin agama & ilmu pengetahuan tak bosan, juga tak henti mendengungkan ajakan, mengomando dengan perintah, serta mengimingi dengan pahala untuk kita, hanya untuk kita!!, agar kita dapat selalu mewujudkannya. Bahkan ilmu pengetahuan dengan repotnya mengkonstruksi sedemikian rupa, dengan metodologi yang rumit, hanya untuk dapat menyumbangkan dalil yang argumentatif, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis pun seakan runtuh jika kita melihat realitas sosial yang jauh dari perdamaian.
Kini konflik-konflik berserakan menyumbat ruang-ruang intim kasih sayang, ibarat sampah menyumbat aliran sungai. Banjir!!. Kita lihat berita di televisi, internet, koran, majalah, dan media sosial seakan tak henti bercerita tentang nestapa perseteruan, baik perseteruan fisik maupun non-fisik yang mengarah pada kehancuran yang niscaya.
Kesejarahan konflik berlangsung begitu abadinya, hingga kita tak sadar sudah bewindu, bahkan berabad lamanya, ibarat kata dari mulai Kakek kita kanak-kanak lalu menua dan mati, hingga cucunya kini menjadi kakek pun konflik belum usai, perdamaian masih disemai. Adapun misalnya, konflik Israel-Palestina, misalnya, telah berlangsung puluhan tahun, bahkan ada yang menyebut ratusan tahun jika mengikuti kesejarahan bani Israil – bangsa Arab ini secara langsung maupun tidak langsung sedang dan selalu mempertontonkan pada dunia bahwa perdamaian itu di langit, karena ego masih menjadi penguasa hati.
Meskipun perdamaian selalu diupayakan melalui traktat-traktat perjanjian damai yang menggunung, dan selalu disepakati. Namun itu hanya semu belaka, karena nyatanya berbeda. Ironis, sangat ironis. Dulu sekali, Kant pernah berdalil, “bahwa perdamaian bukan hanya sekedar bicara tentang keadaan tanpa perang”. Spirit Kant ini menggambarkan bahwa tanpa perang bukanlah indikator perdamaian. Lebih jauh lagi, bahwa perdamaian adalah suatu upaya menghadirkan penghargaan tinggi kepada nilai-nilai kemanusiaan. Spirit inilah yang kini memudar dari internal diri kita. Jika saja dunia ini tercipta tanpa perang, namun spirit kemanusiaan kita tak ada, apakah hal ini dapat disebut dengan perdamaian?. Beranikah Anda menjawabnya?.
Dalam buku babon Zum Ewigen Frieden: Ein Philosophischer Entwurf, Kant menjelaskan tentang perdamaian abadi yang dicita-citakan dapat terwujud bilamana manusia dapat memahami, memposisikan diri lalu mengekstralisasikan dirinya sebagai manusia. Hanya manusia…!!. Karena jika sudah begitu, citra diri sebagai manusia telah melebur menjadi tiada. Sehingga manusia dapat melahirkan nalar kebijaksanaan (Vernunft-Weisheit), yang dapat memperbudak kecerdasan sekaligus meringkus hawa nafsu.
Nalar kebijaksanaan ini dapat mengaktifkan sel-sel cinta kasih yang berguna sebagai modal dalam pergaulan. Jika sudah demikian, perdamaian abadi dapat membumi. Namun, persoalannya kini terlalu rumit. Godaan-godaan untuk menyimpang semakin terasa getarannya. Uang, misalnya, adalah hal yang paling dicari di dunia yang kapitalistik ini. Terkadang, untuk mendapatkannya kita rela menanggalkan segala idealisme yang sudah menancap kuat di dalam hati. Bahkan, alih-alih membantu, sebagain mereka menggadaikan janji pada kitab suci di kepala, yang hanya jadi pemanis dalam seremoni serah-terima jabatan; bagai kalimat tawar menawar di pasar loak. Juga, ‘seragam kebesaran’ petugas pun rela ditanggalkan lalu diinjak-injak hanya untuk beberapa lembar rupiah, bagai balita merengek minta dibelikan mainan. Mengenaskan bukan?. Tapi ini bukan akhir dari dunia, juga bukan akhir dari harapan adanya perdamaian. Karena bagi mereka para penggadai itu, hal-hal yang mereka lakukan adalah implementasi dari perdamaian itu sendiri. Gila lu ndro..!!.
Akhirnya, setuju maupun tidak, kita harus mengakui bahwa perdamaian kini menjadi paradoks. Karena perdamaian kemudian dimaknai dengan beragam situasi kondisi dari individu masing-masing. Kondisi tersebut sangat jauh dari spirit etika Kantianism yang sangat menekankan pentingnya sikap siap rugi saat mengambil keputusan. Tapi dari kerugian itu, kita harus menjauhkan pula sikap peduli pada kepentingan orang lain. Dari sinilah kita belajar bahwa rela berkorban untuk kepentingan yang lebih luas, mungkin bisa saja kepentingan Tuhan, negara, atau apalah. Tafsirkan sendiri.!!!. read more

MILK AL-YAMIN bukan MILK AL-YASAR

Dr. Arif Chasanul Muna, M.A

Bagi kita yang masih menganggap hadis Nabi Muhammad SAW sebagai sumber otoritatif, maka saat membaca hadis Sahih al-Bukhari yang terdapat dalam kitab Mukhtashar ibn Abi Jamrah (yang banyak dibaca di Pesantren Nusantara) justru menjelaskan sebaliknya, berikut hadis:

أيما رجل كانت عنده وليدة – أي أَمَةٌ – فعلَّمها فأحسن تعليمَها، وأدَّبَها فأحسن تأديبها ثم أعتقها وتزوَّجها فله أجران read more

Menuju Jalan Tuhan Melalui Guru Tasawuf: Bukan ‘guru’ Google

Oleh: Fairuz Rosyid, M.Pd

Di saat kehidupan bersosial tak lagi mementingkan inti kebijaksanaan alih-alih mengutamakan emosi maka upaya melepaskan diri dari lingkaran setan tersebut adalah mencari Guru Pembimbing menuju Tuhan (Mursyid). Post truth era dan era digital adalah perkawinan sempurna antara teknologi, mesin dan emosi. Keduanya melahirkan peradaban baru yang memarjinalkan peran nurani manusia, dimensi ruh. Dimensi akal-empiris dan nafsu-emosi adalah penyakit jika absen kelembutan nurani. Maka benar seruan Nabi yang terangkum dalam Shahihain,
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Jika hati sehat, sehatlah seluruh tubuh. Namun, tatkala hati rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Paham post-truth dengan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan melalui isu-isu sensitif. Nafsu emosi seolah menjadi akhlak tercela yang menjangkiti masyarakat sosial saat ini. Misalnya saja kasus Pemilu 2019 yang telah melahirkan banyak berita palsu dan perilaku amoral pendukung kandidat adalah wujud nyata dari hati yang rusak.
Hal ini tak sulit untuk dilacak klik di mesin pencari google akan banyak media yang memberitakan. Google menjelma menjadi ‘all-alamah’ (guru mulia) yang menyediakan banyak informasi. Orang lebih suka untuk searching jawaban di search engine google daripada mencari jawaban kehidupan kepada ahl dzikir (Guru Tasawuf).
Tak dapat disangkal sang guru google dewasa ini memberikan kemudahan. Akan tetapi layanan google hanyalah perangkat mesin pengolah data. Sesuatu yang tak ber-ruhani (tak memiliko jiwa), tak dapat memberikan bimbingan, tak dapat mengobati hati yang tentu saja memiliki cara kerja sendiri. Sesuatu yang ajaib dan terjadi tidak seperti algoritma internet.
Dalam mengobati hati dibutuhkan seorang guru Tasawuf yang sering di sebut sebagi Mursyid. Dalam ajaran tasawuf Mursyid berperan memperbaiki hati (fasadat) supaya kembali berfungsi dengan baik (sholuhat). Alasan penting kenapa Murayid serta menta’ati Jalannya (Tarekat) adalah hal fundamental di era post truth ini dijelaskan oleh Dr. Javad Nurbakhsh di dalam buku Warisan Sufi (jilid satu), seorang Pemimpin Tarekat Sufi Nimatullah tahun 1991 di London, Inggris, sebagai berikut.
Pertama, cinta Tuhan. Melalui kepasrahan kepada perintah Mursyid (Syaikh), seorang murid dapat terkoneksi dengan Tuhan. Dengan demikian memungkinkan sang murid untuk mencercap cinta Tuhan.
“Jalan pengembaraan dan kemanuan metodis di atas Jalan [tarekat], Sufi begitu pasrah [taslim] jatuh cinta pada guru spirutualnya [Syaikh], yang kemudian mengubah cinta ini dengan cinta ilahi [atas ridha Syaikh]… Sufi memulai pencarian guru spiritual, yang menggenggam di tangannya lentera Pencari Kebenaran; kemudian sang guru Mursyid (Syaikh) menghidupkan nyala lentera dengan napas ruh sucinya sendiri, yang menyebabkan Sufi terbakar oleh cinta Ilahi.”
Sehingga, kehidupan era post truth yang kering dan ampang (jawa, kosong) dapat diatasi dengan kebutuhan nurani yang disebut cinta (hubb).
Kedua, Seruan untuk menyembah Tuhan. Seorang Mursyid (Syaikh) sejati tidak akan memanfaatkan muridnya demi kepentingan pribadi. Justru muridlah yang sangat membutuhkan bimbingannya.
“Para Guru Jalan (Syaikh Tarekat) menyeru murid-muridnya kepada Tuhan, bukan pada diri mereka sendiri. Tujuan mereka adalah untuk membebaskan murid-murid dari penyembahan-diri dan penyembahan pada orang lain, dan membimbing mereka menuju penyembahan Tuhan semata (‘Abid), bukannya menarik yang lain kepada mereka demi tujuan pribadi atau melalui pamer keajaiban dalam rangka menambah penghidupan untuk diri mereka sendiri.”
Nilai penting Musryid (Syaikh) adalah bimbingannya untuk mengantarkan sang murid kepada kebahagiaan. Jika hati rusak yang merajalela di era post truth dengan bimbingan inilah seorang Mursyid (Syaikh) akan meperbaikinya.
Ketiga, Keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan. Tak ada satu pun Mursyid (Syaikh) yang memerintah murid untuk menggantungkan kebutuhan hidupnya kepada makhluk. Justru Mursyid (Syaikh) senantiasa mengharapkan muridnya menjadi orang mandiri yang sukses.
“Guru Jalan Sufi [Syaikh Tarekat] yang agung menekankan pentingnya untuk memiliki sebuah pekerjaan, dan mereka sendiri melibatkan dalam perdagangan yang mendorong murid-murid mereka untuk mencontoh tindakan kegigihan mereka.”
Di era post truth dan persaingan seperti sekarang ini, seorang murid akan senantiasa husnudzon dan bersemangat untuk meraih yang terbaik. Hidupnya selalu berpikir positif dan tak ada kehawatiran.
Keempat, Pelayanan kepada sesama dan mencintai umat. Syaikh tak ridha jika muridnya tak berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Sufi berada di bawah bimbingan Syaikh untuk senantiasa menebarkam cinta dan kebaikan untuk sesama dengan kapasitasnya masing-masing.
“Para guru Sufi pada dasarnya berjuang keras untuk membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling memguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung kualitas-kualitas manusia.”
Ahirnya, nafsu emosi yang mendominasi di era post truth dapat diobati melalui bimbingan Syaikh. Kehidupan sosial yang saling terkoneksi dengan didasari cinta kasih itulah yang diberikan oleh Sufi, yang absen dari kehidupan bersosial kita.
Keempat hal ini seyogyanya menjadi alasan kuat bagi kita untuk menemukan pembimbing sejati yang akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang berbahagia. Melewati segala macam perubahan zaman dengan tetap istiqamah di atas jalan Islam yang menebarkan kasih bagi semesta raya. Bukan Islam yang menebarkan teror dan ketakutan bagi sesama manusia. read more

Sufism Millenial: Menuju Ekonomi Berperadaban

Oleh: Luthfi Maulana, M.Ag

Sufism Millenial merupakan dua istilah gabungan Sufism dan millenial. Sufism diartikan sebagai sebuah usaha untuk menemukan cara menuju Tuhan, sedangkan millenial adalah generasi era 80-90an. Generasi millenial sering disebut sebagai digital generation yang cenderung berani, inovatif, kreatif, modern dan individualis, sehingga generasi ini banyak berperan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial politik, dan IPTEK.
Keberhasilan peran generasi millenial dalam berepan aktif pada ranah domestik maupun publik tidak terlepas dari kemajuan teknologi komunikasi atas kemajuan global village. Sehingga generasi ini dapat merasakan kedekatan antara satu dengan yang lain dalam sebuah lingkaran connection internity, cara ini jelas berpengaruh dan mengubah cara berkomunikasi serta berinteraksi hingga mengubah mindset dan pengalaman manusia, mengikat dunia menjadi satu sistem, baik politik, sosial, budaya dan ekonomi. Sehingga generasi ini cenderung melahirkan perubahan ketergantungann masyarakat terhadap teknologi.
Namun tak bisa dipungkiri, saat ini peran generasi millenial sangat penting dalam segala aspek kehidupan saat ini, terlebih dalam bidang ekonomi. Saat ini, ekonomi adalah indikator kemajuan dari seluruh aspek kemajuan. Tanpa ekonomi, perubahan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi hingga politik, sosial dan budaya tidak akan berubah sedemikian itu. Aspek terbesar yang berperan dalam mengubah seluruhnya ialah aspek materiil (ekonomi), sehingga pola ini melahirkan timbal balik tujuan dari ekonomi menuju ekonomi. Kok bisa? La iya kan awalnya dari dukungan ekonomi dapat mengembangkan seluruh aspek, lalu tujuan lain pengembangan itu untuk kepentingan ekonomi kapital dan materi.
Begitulah adanya, keadaan saat ini generasi millenial sudah semakin mendominasi diberbagai jagat kehidupan terutama pada aspek ekonomi, baik ekonomi domestik maupun publik. Namun amat sangat di sayangkan, keadaan kita sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, masih berada di bawah bayang-bayang klausa keterjajahan. Terjajah karena tuntutan kebutuhan ekonomi, terjajah karena faktor tuntutan pekerjaan (ekonomi), hingga terjajah akibat terjerat keringat dan air mata yang harus dilakukan, namun upah yang dihasilkan tak seberapa dengan resiko kematiannya (ekonomi). Mati terpenjara karena tak berkutik lagi, dan mati terpenjara di bawah bayang-bayang para penguasa kapitalnya masing-masing.
Kapital di era millenial bukan lagi sebuah cerita warisan kolonialis, namun nyata terhegemoni akibat gerusan arus globalisasi yang menghasilkan generasi-genarasi kini cenderung egosentris untuk kepentingan sendiri, tanpa melirik kanan kiri apa penyebabnya? Semuslimkah? Atau sesama manusiakah? Apalagi untuk alamnya? Sangat jauh dibenak pikiran, hingga boro-boro mau meng-visikan kesejahteraan bagi peradaban umat Islam saat ini. Yang kaya makin gemerlang dengan segala gaya-nya dan pamer ala-ala warisan kolonialis kapitalis, dan yang tidak punya hanya bisa mengeluh tentang kekhawatiran hari esoknya, hanya dengan dalih-dalih motivasi dan harapanlah mereka menumbuhkan semangat dirinya untuk bisa menatap para teman sebaya muslimnya yang menjelma bak manusia millenial saat ini dengan beragam fasilitas gerusan virus hedonisme. Ya begitulah kiranya yang terjadi, ajaran esoterik Islam (tasawuf) yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesejahteraan hanya sebatas ajaran, bahkan tren tasawuf hanya sebatas menjadi sufisme Urban dengan beragam gaya barunya, tanpa menjalankan esensi esoterik dari tasawuf itu sendiri (hablumminallah menuju hablum-minannas dan hablumminal alam).
Hal ini tentu amat memprihatinkan, gerusan hegemoni-hegemoni kolonialis terus dipertontonkan demi egosentris kekayaan materi, baik dari ekonomi industri perumahan (home industri kecil) hingga beragam industri lainnya. Sehingga keadaan yang terjadi, saling sikut dan jegal tak lagi sebuah perkara yang tabu. Namun sudah bagian tradisi dengan dalih economic modernity.
Hal ini membuktikan, bahwa Islam seakan-akan bukan lagi sebuah pedoman yang harus diaplikasikan, bukan lagi ajaran yang harus dicontohkan tentang visinya perihal kesejahteraan dan keadilan, namun Islam hanya agama yang dianut dari sisi syari’at kepada Tuhan, tanpa menjalankan amanat Tuhan melahirkan Islam humanis (human sosial) yang berperadaban, berperikemanusiaan, dan berperikeadilan bagi sesama muslim dan sesama umat manusia. Seluruhnya pasti akan terbantahkan dengan dalih profesionalis ekonomic modernity dan kemajuan global. Padahal dibelakang itu ada keinginan nafsu yang menggebu-gebukan harta, tahta dan kepentingan kekayaan.
Maka sebab itulah, Sufism Millenial perlu digairahkan kembali di tengah kita, jalan usaha menuju Tuhan yang selama ini hanya digerakkan sebatas menjalankan syari’at Islam, perlu lebih ditingkatkan pada aspek esoterik menuju Tuhan untuk menjalankan konsep perintah ajaran Islam dalam hal hablumminallah, hablumminnas hingga hablummninal alam.
Dalam ranah ekonomi Islam berperadaban, maka hal yang perlu diperhatikan ialah menyadari bahwa dalam harta kita, ada hak bagi harta orang lain yang membutuhkan, dalam konsep kemajuan ekonomi juga ada kawan saudara seiman yang sama-sama ingin menjalankan pemkembangan ekonominya. Jadi kesemua itu perlu dibangun untuk mewujudkan Islam yang mendengung-dengungkan misi peradaban demi terlahirnya kesejahteraan sesama umat Islam. Dalam hal ini, menjalankan kemajuan tanpa menjatuhkan (saling berbagi menuju kesuksesan bersama) dan menyadari seluruh apa yang bisa dinikmati adalah pemberian Allah yang perlu dibagikan kepada orang-orang sekitar yang membutuhkan, karena sebagian harta kita adalah rezeki mereka yang diberi Allah lewat jalur (wasilah) kita, maka hal-hal semacam ini adalah keharusan yang mau tidak mau harus dilakukan. sehingga mewujudkan peradaban ekonomi Islam bukan lagi sebuah cita-cita fiksi dari sebuah perintah, namun dapat terwujudkan, sebagai bentuk menghargai tajalli Allah pada setiap makluk sesamanya, dan bagian dari jalan menuju jalan yang Allah perintahkan.
Wallahuaklambissowam, read more

Hermeneutika Abu Yazid Bustomi

Imam Nawawi, M.A



Pada lazimnya, kajian hermeneutika berbicara seputar author, text, dan reader. Terlepas dari kemampuan reader (pembaca) mampu memahami teks dengan baik sesuai makna dan maksud dari author (pembicara), Abu Yazid memberikan uraian yang serupa.

Dalam satu syathohatnya, Abu Yazid mengatakan:

إنما يخرج الكلام مني على حسب وقتي، ويأخذه إنسان على حسب ما يقوله ثم ينسبه إليَّ.

“Kata² keluar dariku sesuai waktuku, kemudian orang² mengambilnya sesuai pemikirannya, namun kemudian menisbatkannya padaku”. read more

Selamat datang Revolusi Industri 5.0,? Apakah Kemanusiaan Kita Akan Kalah dengan Robot?

Ahmad Ali Adhim, M.Pd

Apabila kita menjumpai kawan-kawan kita tertawa dengan samrtphone, jangan heran, kita sedang menyaksikan betapa hebat dampak dari ‘disrupsi’, sebuah teknologi internet yang sengaja dikemas ke dalam proses produksi agar proses pengolahan barang dan jasa bisa lebih efisien, cepat, dan massal. Di situlah kita telah sampai pada gerbang raksasa bernama Revolusi Industri 4.0
Lihatlah lingkungan sekitar kita, betapa penggunaan teknologi robotik semakin menyita ruang kerja manusia, rekayasa intelektual telah mengganti tenaga pendidik yang profesional, belum lagi Internet of Things (IoT), nanoteknologi, hingga sistem yang disebut sistem komputasi awan (cloud computing) yang telah hampir sempurna merenggut peran manusia di muka bumi.
Sejarah panjang revolusi industri yang berlangsung sejak 1850 silam telah lama kita lewatkan. Sejarah berbicara, pada revolusi industri tahap pertama, produksi barang secara massal tercatat menggunakan mesin uap dan air sebagai bagian dari mekanisasi produk. Kemudian, pada tahap revolusi industri kedua, mekanisasi produksi ditekankan pada penggunaan alat-alat elektronik.
Memasuki abad 20, sampailah kita pada tahap revolusi industri yang ke tiga, sebuah keadaan yang disebut dalam lagu Kasidah Nasida Ria sebagai ‘tahun mesin’ ini digambarkan berupa tahun harapan, penuh tantangan dan mencemaskan, apa-apa serba mesin, berjalan dan berlari menggunakan mesin, tidur berkawan mesin, makan dan minum dilayani mesin.
Revolusi Industri ketiga ini lebh spesifik kepada penggunaan teknologi dan otomatisasi di dalam mekanisasi produksi. Berbeda tipis dengan revolusi industri 4.0. Perbedaan itu hanya dalam hal penggunaan internet dan kecepatan produksi yang jauh lebih kencang dibanding revolusi industri ketiga. Sebuah keadaan yang menurut pencipta lagu-lagu Nasida Ria, bernama KH. Bukhari Masuri, kita sangat perlu mempersiapkan bekal ilmu dan keterampilan dan iman untuk menghadapinya.
Pada tahun 2016, World Economic Forum (WEF) mempublikasikan hasil risetnya di beberapa industri dengan judul The Future of Jobs, di sana dikatakan bahwa industri mulai beralih menggunakan rekayasa intelektual, mesin belajar (machine learning), transportasi otomatis, dan robotik sangat pintar sudah mulai mendominasi proses produksi hingga 2020 mendatang.
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah yang menjadi target dari beberapa Industri yang disurvei oleh WEF itu? Mereka menginginkan penggunaan teknologi cloud dan mobile internet menjadi fokus model bisnis mereka di masa depan. Tak hanya itu, mereka juga merancang sebuah teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi. Kelak, di sana pelaku industri akan mulai beradaptasi hingga 2025 mendatang.
Kita sedang berada di tahun 2019, itu artinya penggunakan rekayasa intelektual, mesin belajar (machine learning), transportasi otomatis, dan robotik pintar sudah hampir 100% mendominasi kehidupan kita sehari hari. Lalu lima tahun mendatang kita akan menjadi penikmat atau korban teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi.
Apakah hal ini tidak berdampak sesuatu? lihatlah, barangkali dulu waktu kita kecil, kita bisa dengan mudah melihat bapak kita berjalan di belakang sapi atau kerbau di sawah untuk mengaduk dan meratakan tanah, berkat adanya revolusi industri yang maha dahsyat ini muncullah mesin traktor. Lihatlah ketika petani panen padi, mesin Combine sudah menggantikan posisi bapak, ibu dan sanak handaitolan kita yang sudah terlatih sejak kecil memanen padi, tangan lincahnya kini sudah tergantikan tangan hitam teknologi mesin.
Melihat sebagian kecil fenoma lingkungan Desa di atas, bukankah hal itu menggambarkan bahwa ‘area’ Perkotaan sudah lebih dulu menjadi lahan empuk para perancang revolusi industri ini? bukankah Desa adalah pertahanan terkuat sebuah bangsa? Maka, apabila masyarakat Desa sudah menjadi konsumen produk revolusi industri, itu artinya racun revolusi industri telah merasuk ke sekujur tubuh sebuah bangsa.
Tanpa kita sadari, busur itu telah melesat dan menusuk jantung bangsa kita, sementara kita hanya menjadi penikmat dan pengekor belaka. Melihat pak tua tetangga kita kehilangan kerjaannya sebagai tukang ojek offline, kita justru gagap gempita menyambut ojek online.
Kita mau makan dan minim tinggal pencet tombol order, restoran-restoran semakin aneh, banyak kursi berjejer rapi tapi dipenuhi oleh manusia-manusia berseragam untuk memesankan menu orang lain. Kita semakin mudah mengetahui karakter orang lain hanya dengan melihat akun sosial media dalam fitur story nya, namun kita sendiri tak mengenali siapa diri kita sebenarnya.
Setiap perubahan pasti membawa dampak, dan kita tahu bahwa revolusi industri 4.0 bukan sekadar perubahan pola produksi semata. Tidak menutup kemungkinan permintaan tenaga kerja ahli dan keterampilan tinggi akan semakin membludak di masa depan. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tak begitu punya keterampilan? Akan menjadi penonton? Atau tergilas oleh perkembangan zaman?
Sementara Revolusi Industri 5.0 sudah melambaikan tangan kepada kita, peran-peran manusia berangsur tergantikan oleh kehadiran robot cerdas, tenaga kita tak ada apa-apanya dibanding tenaga robot, tangan kreatif dan kaki gesit kita telah diwakili robot, bahkan mereka bisa menjawab berbagai pertanyaan kita.
Ahlan wa sahlan Revolusi Industri 5.0, apakah kita akan tetap menjadi pengekor? apakah kemanusiaan kita juga akan kalah dengan mereka? Na’udzubillah mindzalik. read more

Membumikan Al-Quran Dengan Meng-Quranikan IPTEK (Sebuah Kerangka Falsafi dalam Memahami al-Quran)

Shinta Nurani, M.A

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian disingkat IPTEK, merupakan dua hal pokok serta tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Semua peradaban dunia mengenalnya, bahkan agama pun juga sangat memperhatikan kedua hal ini. Hal ini dapat ditinjau dari segi pengulangan penyebutan keduanya di dalam Alquran dengan berbagai derivasi maknanya.
‘Ilm secara lughawi berarti kejelasan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilmu pengetahuan pada zaman sekarang lebih akrab dikenal dengan sains (Shihab, 2013: 574). Dalam Alquran terulang 854 kali dengan berbagai bentuknya. Alquran memandang ilmu ialah keistimewaan yang menjadikan manusia paling unggul dibandingkan dengan makhluk lainnya, sehingga manusia diberikan amanah untuk menjadi khalifah di bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 31-32:
“Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.”
Sedangkan kata teknologi diartikan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan manusia (Pusat Bahasa, 2008: 1422). read more

Hunain ibn Ishaq: Penerjemah Ensiklopedis dan Dokter Klinik

Dr. Barakat Murad, akademisi asal Mesir

Pasca pembebasan (penaklukan) besar-besaran dalam sejarah Islam selesai, bangsa Arab giat menfokuskan perhatiannya di bidang ilmu pengetahuan; mereka menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia, dan India. Di sinilah orang-orang Kristen dan Yahudi memainkan peran penting menyukseskan kerja terjemah, salah satu penerjemah terkemuka adalah Hunain ibn Ishaq.

SETELAH satu abad setengah kemunculan Islam, dua kota besar, Baghdad di bawah naungan dinasti Abbasiyah dan Cordoba di bawah naungan dinasti Umayyah, menjelma pusat studi ilmiah internasional khususnya di bidang kedokteran. Beberapa dokter di masa dinasti Umayyah di antaranya adalah: Ibn Wahsal dan Abu Hakim Al-Dimasyqie. Adalah Abu Washal adalah kristiani dan menjabat sebagai dokter pribadi khalifah Umayyah pertama, Muawiyyah ibn Abi Sufyan. Washal ahli di bidang anti biotik racun. Di masa Muawiyah banyak pembesar meninggal dengan cara tidak wajar, dikabarkan saat itu Washal menemui ajalnya dalam sebuah peristiwa pembunuhan karena dendam. Dokter lain beragama Kristen di masa dinasti Umayyah adalah Abu Hakim Al-Dimasyqie. Al-Dimasyqie ahli ilmu bius dan menjadi penasehat untuk khalifah Yazid ibn Muawiyah. Gerakan terjemah Arab di masa dinasti Umayyah dimulai pada masa khalifah Khalid ibn Yazid yang menaruh perhatian di bidang kimia klasik dan banyak memanfaatkan sumbangsih para filsuf Yunani yang masih hidup di Mesir. Kkhalifah memberi mereka imbalan atas jasa menerjemahkan buku-buku kimia, kedokteran, dan astronomi. Seorang Jabir ibn Hayyan (ahli kimia) sempat semasa dengan salah-satu ahli kimia Arab pada masa khalifah Khalid. Jabir adalah ahli praktikum kimia dan penemu pertama air raksa. Keadaan yang sama juga terjadi di Baghdad yang dijadikan Al-Mashur sebagai ibu kota pertama dinasti Abbasiyah. Saat itu Baghdad menjadi poros ilmu pengetahuan. Baru pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (abad ke-9) disinyalir sebagai masa keemasan paling terkenal dalam sejarah orang-orang Arab, sebuah masa paling agung dalam perjalanan sejarah mereka. Suatu hari diriwayatkan khalifah pertama Abbasiyah meminta dokter Abu Yusuf menyeleksi kemampuan para dokter, tujuannya melarang praktek dokter gadungan yang tidak lulus seleksi. Hasilnya, dokter lulus seleksi sebanyak 860 orang, sedang ratusan lainnya terbukti gadungan dan terpaksa dibuang. Khalifah Al-Manshur sendiri pernah memanggil secara resmi dokter asal Suria yang juga sebagai ketua rumah sakit Jundisphur, Georgius ibn Gabriel, untuk bekerja sebagai dokter pribadi khalifah. Dari generasi ke generasi, keturunan Gabriel melahirkan dokter-dokter terkemuka. Kesemuanya mengabdi di istana dinasti Abbasiyah selama tiga abad dan mendapat tempat termulia serta menikmati gaji besar melebihi gaji pembesar khalifah dan para menteri. Selain sebagai dokter, anak turun Georgius ibn Gabriel juga sibuk menerjemah buku-buku Yunani dan tidak sedikit dari mereka menulis buku kedokteran sendiri. Sosok Youhanna ibn Mashu’ dikenal sebagai dokter pada masa khalifah Harun Al-Rasyid. Atas permintaan dari khalifah, Youhanna tekun menerjemah buku-buku kedokteran Yunani hasil pembelian langsung khalifah dari Byzantium. Yohanna juga menulis sejumlah buku-buku kedokteran, karya-karya Youhanna meliputi al-Hummayyat (Penyakit Demam), al-Taghdiyyah (Konsumsi Makanan), al-Shudâ’ (Sakit Kepala)`Aqm al-Nisâ’ (Masalah Keperempuanan). Khalifah Al-Mu’tashim Billah, penganti Harun Al-Rasyid, menaruh perhatian besar terhadap karya komentarYouhanna sampai-sampai khalifah menyediakan ruangan khusus agar Youhanna nyaman bekerja. Nama Hunain ibn Ishaq tetap satu-satunya penerjemah besar dalam sejarah Arab yang menguasai banyak bahasa, di antaranya: Suryan, Yunani dan Arab. Hunain banyak menghasilkan terjemahan buku-buku filsafat dari bahasa Yunani. Selain Hunain, masih banyak lagi penerjemah, penulis sekaligus filsuf besar di masa Hunain. Misalnya Tsabit ibn Qurrah yang menulis sejumlah buku kedokteran, filsafat, dan ilmu astronomi. Selain itu, ada Qista ibn Lukas —hidup sezaman dengan Al-Kindi (filsuf Islam pertama)— sebagai spesialis penerjemah bahasa Sansekerta ke bahasa Arab. Qista ibn Lukas pernah menerjemah buku tentang obat racun karya dokter India, Syanaq. Siapa Hunain ibn Ishaq? Nama lengkapnya Abu Yazid Hunain ibn Ishaq Al-Ibady (193 H – 260 H/873 M). Hunain dikenal sebagai penerjemah besar, paling tersohor, dan di masa dinasti Abbasiyah dijuluki sebagai gurunya penerjemah (syaikh al-mutarjim). Hunain lahir di Hirah, Iraq. Ayahnya pengikut aliran Kristen Nestor dan bekerja sebagai pegawai apotik. Bahasa ibunya adalah Suryan. Guru pertamanya adalah dokter Yahya ibn Masaweh. Selama diajar Masaweh, Hunain menilai sang guru terlalu ketat sehingga membuatnya pergi berkelana beberapa tahun yang dimanfaatkan untuk belajar bahasa Yunani yang tidak dikuasai gurunya. Beberapa tahun kemudian Hunain pindah ke Bashrah, Irak, dan bergabung di salah satu institusi besar ilmu bahasa Arab. Di sinilah Hunain belajar bahasa dan gramatika Arab di bawah bimbingan salah satu ahli bahasa Arab terkemuka, Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi. Ibn Nadim dalam buku al-Fihris dan Ibn Abi Asyibah dalam buku Akhbâr al-Hukamâ’ menyebut: Hunain ibn Ishaq mengusai empat bahasa: Arab, Suryan, Yunani dan Persia. Dalam kunjungannya ke Romawi, Hunain manfaatkan belajar kedokteran, mendalami bahasa dan sastra Yunani sampai benar-benar menguasai, kemudian kembali ke Bashra, belajar bahasa Arab di tangan Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi. Hunain menekuni bidang kedokteran bersama Youhanna ibn Masaweh, mengabdi di istana Al-Makmun, Al-Mu’tashim, Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil, ia juga mengabdi pada anak-anak keturunan Musa ibn Syakir. Keahlian Hunain adalah menerjemah buku-buku Yunani, dan senang berkelana ke pelosok negeri demi mendapatkan manuskrip buku. Ambil contoh misalnya, buku al-Burhân karya Galen sangat jarang ditemukan pada abad ke-3 H, namun Hunain berhasil mendapatkannya setelah menjelajah ke penjuru Iraq, Syam dan Mesir. Namun sayang, Hunain baru mendapat separuh isi buku, separuh lainnya berhasil ia dapat setelah mencarinya di Damaskus. Karena kecintaannya terhadap ilmu begitu besar dan gemar memburu buku sampai ke pelosok-pelosok negeri, khalifah Al-Makmun mempercayakan Hunain menjabat sebagai direktur Baitul Hikmah, dan secara khusus khalifah memberikannya dana insentif begitu besar. Saking besar gaji Hunain, Ibn Abi Asyibah meriwayatkan: setiap hasil terjemah buku Hunain ditimbang dengan bobot emas, karenanya kebiasaan Hunain menulis teks terjemah dengan huruf tebal dengan penjelasan (syarah) di bawahnya cukup panjang dan ditulis di atas kertas yang tebal pula, untuk menambah beban timbangan buku. Sebelum itu, Hunain bekerja pada Gabriel ibn Bakhtisyu, salah satu keluarga Bakhtisyu yang sudah mengabdi sebagai dokter di istana khalifah Al-Makmun. Al-Makmun menginstruksikan Hunain menerjemah buku-buku kedokteran Yunani ke dalam bahasa Arab dan bahasa Suryan, ketika itu dalam usia 17 tahun Hunain menerjemah buku Galen tentang Ashnâf al-Hamiyyât (Macam-macam Demam), kemudian buku al-Quwâ al-Thabî`iyyah (Dorongan-dorongan Natural) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Suryan. Patut digarisbawahi bahwa Hunain ibn Ishaq setelah menjabat sebagai direktur Baitul Hikmah yang dibangun pada th. 215 H/830 M, banyak membantu para penerjemah muda dari bahasa Yunani ke bahasa Suryan, lalu diteruskan dengan menerjemahkannya ke bahasa Arab. Hunain telah menerjemahkan tujuh karya Hippokrates. Diriwayatkan Hunain juga telah menerjemahkan seluruh karya-karya kedokteran Galen, dan beberapa karya komentar Galen untuk Hippokrates. Berkat kerja keras Hunain, nama Galen sangat tersohor di mata para pemikir abad pertengahan Islam dan Kristen. Semua itu berkat terjemahan versi Arab buku Medica Materia karya Dioscoridesx. Terjemahan ini bukti perhatian besar bangsa Arab terhadap dunia kedokteran, di mana perhatian ini bukan berhenti di level penerjemahan tapi juga dilanjut dalam tahap berkarya sendiri. Hunain dan para penerjemah Kristen, Suryan dan Yahudi, pantas dijadikan contoh dalam hal toleransi agama Islam dan kaum muslimin dalam berinteraksi dengan umat agama lain. Bahwa Islam dan kaum muslimin memberi peluang sebesar-besarnya kepada siapapun dalam menentukan karirnya di politik, ilmiah dan sosial, juga pengalaman itu menunjukkan tidak ada warga mulia kecuali karena taqwa dan amal baiknya. Praktek di atas menunjukan bahwa kaum muslimin tidak fanatis hanya untuk bangsa Arab dan pemeluk agama Islam saja, terbukti banyak orang kristiani, Suryan, dan Yahudi menduduki jabatan tinggi di masa dinasti Abbasiyah di Arab-Timur (Masyriq), sebagaimana banyak di antara mereka pula menikmati kursi birokrasi dalam administrasi pemerintahan dan dunia akademik di masa dinasti Umayyah di Arab-Barat (Maghrib) dan Andalusia, Spanyol. Para Penerjemah Terkemuka Hunain ibn Ishaq merupakan penerjemah tersohor di Baghdad pada abad ke-9 M dan paling banyak karya terjemahannya. Setelah masa-masa awal belajar di Baghdad, Hunain merantau ke Byzantium dan Alexanderia, Mesir. Sekembalinya merantau, Hunain menguasai bahasa Yunani dan menjadi penerjemah lepas; hal yang sama dilakukan oleh anak-anak Musa ibn Syakir. Hunain menerjemahkan buku-buku kedokteran, filsafat, astronomi, matematika, dan sihir. Hunain juga memberi kesempatan kepada anaknya, Ishaq ibn Hunain, saudarinya, Hubaysh ibn Al-Hasan, dan para pendeta Kristen lainnya untuk melakukan kegiatan terjemah serupa. Namun, di antara semua penerjemah di masa itu, hanya Hunain ibn Ishaq yang betul-betul menguasai bahasa Yunani, karenanya Hunain kadang menerjemahkan buku Yunani ke dalam bahasa Suryan dan kadang pula menerjemahkan langsung ke dalam bahasa Arab. Ishaq dan Hubaysh (anak dan saudari Hunain) sering menyerahkan hasil terjemahannya kepada Hunain untuk diperiksa dan dievaluasi. Dengan demikian Hunain secara tekun memantau kinerja anak didiknya bertahun-tahun. Dan hasilnya cukup baik, terbukti Hubaysh menjadi penerjemah hebat untuk istilah-istilah kedokteran, terkadang ia bersama teman-temannya menjadi penanggung jawab terjemah istilah-istilah filsafat dan matematika dalam karya-karya Aristoteles. Hunain mengumpulkan daftar karya-karya Galen yang berserakan pada masa itu kemudian merapikan serta menyusun drafnya mencapai 100 draf. Semua buku Galinus tersebut selanjutnya ia terjemahkan sendiri ke dalam bahasa Arab dan Suryan. Selain karya terjemah di atas, Hunain juga menerjemahkan karya-karya Hippokrates dan karya dokter-dokter Yunani lainnya. Hunain juga menulis buku tentang mata, karakter sinar dan buku kimia. Orientalis Donald R. Hill dalam buku al-`Ulûm al-Handasiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah (Ilmu-ilmu Arsitek dalam Sejarah Islam) memberi komentar: Hunain di samping perannya sebagai penerjemah terkemuka, ilmuan dan guru berjasa, tak pelak kerja kerasnya telah memberi sumbangsih besar terhadap kemajuan peradaban Arab, khususnya dalam hal mencipta istilah-istilah teknik kedokteran dalam bahasa Arab dan bahasa Suryan. Hunain sangat teliti setiap detail terjemahan, bersama rekan-rekannya Hunain begitu cermat menkomparasi teks-teks terjemah serta menkajinya secara hati-hati, hasilnya Hunain tidak canggung membuang terjemahan yang salah. Secara tidak sadar dengan cara ini Hunain telah merintis sebuah metode terjemah untuk para penerjemah setelahnya. Dokter Mata Karangan terpopuler Hunain ibn Ishaq adalah `Asyr al-Maqâlâtfî al-`Uyûn (Sepuluh Essai tentang Mata), ini adalah kitab paling tua yang membahas penyakit mata. Buku ini sudah diterbitkan oleh Max Meyerhof (ماكس مايرهوف) yang sudah dikaji dan dikomentari. Ini adalah kitab klasik yang menjelaskan tentang kesehatan mata dengan susunan metodis dan mendidik, berikut disajikan dengan gambar mata. Orientalis Max Meyerhof secara khusus menkaji pengaruh buku ini terhadap dunia kedokteran di Eropa. Dalam pengantar bukunya, Hunain menbeberkan bahwa apa yang ditulis dalam buku `Asyr al-Maqâlât fî al-`Uyûn adalah hasil pengalamannya selama 30 tahun menkaji kesehatan mata. Kreasi Hunain tentang istilah-istilah kedokteran dalam bahasa Arab juga masih dipakai hingga saat ini. Seperti: al-Syabîkah (Retina), al-Shulbah (Sclera), al-Multahimah (Conjunctiva), al-Qarniyah (Cornea), al-Musyaymiyah (Placental), dilengkapi dengan penjelasan arti dari bahasa Yunani yang detail serta menggunakan susuan kalimat bahasa Arab yang jelas, oleh karenanya warisan kamus Hunain ini dapat menyatuhkan sekaligus menjadi rujukan bagi para penerjemah di zamannya dalam bidang istilah-istilah kedokteran bahasa Arab yang sebelumnya “semerawut”. Selain karya di atas, Hunain memiliki karya di bidang kedokteran yang tak kalah penting, yaitu buku Fî Ikhtiyâr Adwiyah al-`Ayn (Cara Memilih Obat Mata), Kitâb al-Ramad (Buku Tentang Penyakit Mata), al-`Ayn au al-Hujjah (Mata atau Hujjah), ditulis untuk kedua putranya Daud dan Ishaq, dan masih banyak karya-karya lain. Hunain juga memiliki tulisan-tulisan ringan lainnya misalnya: Tuhfah al-Awliyâ wa Dzakhîrah al-Athibbâ’ (Buku untuk Para Wali dan Harta untuk Para Dokter), Imtihân al-Athibbâ (Tes Seleksi Para Dokter), al-Nikâh (Nikah), Fî Man Yûladu fî Tsamâniyah Asyhur (Tentang Orang Lahirkan Dalam 8 Bulan), buku tentang Fî anna al-Thabîb al-Fâdhil Lâbudda an Yakûna Filsûfan (Dokter Baik Harus dari Seorang Filsuf), Aujâ’ul al-Ma`iddah (Sakit Lambung), Fushûl Hunain ibn Ishâqfî Asyribah Mukhtârah (Penjelasan Hunain ibn Ishaq Tentang Minuman-minuman Tertentu), Fî Tadbîr al-Shihhah fî al-Math’am al-Masyrab (Cara Menjaga Kesehatan lewat Makan dan Minuman), Fî al-Bafûl wa Hawâsyîhâ (Seputar tentang Air Baful), Maqâlah fî Mâi al-Bafûl (Essai Air Baful), al-Fawâkih wa Manâfi’ihâ (Buah-buahan dan Berbagai Manfaatnya), fî Ishlâh al-Mâ’i al-Jubun al-Nâfi`ah wa Mâ Yusta’malu Minh-u (Cara Memperbaiki Air Beku yang Bermanfaat dan Prihal Kegunan Air Tersebut), Kitâb fî al-Aghdiyah (Buku tentang Makanan), al-Farq bayn al-Ghadâ’ wa al-Dawâ’ al-Mushil (Perbedaan antara Makanan dan Obat yang Menyembuhkan), Maqâlah fî Tawallud al-Hishâh (Essai Tentang Munculnya Batu-batu), Hunain juga memiliki ensiklopedi nama-nama dokter dalam sejarah Târîkh al-Athibbâ (Sejarah para Dokter-dokter). Hunain memiliki buku daftar obat, seperti Asmâ’ al-Adwiyah al-Mufarradah `Ala Hurûf al-Mu`jam (Nama-nama Obat Berdasar Huruf Kamus), Fî Asrâr al-Adwiyah al-Murakkabah (Rahasia Obat-obat Racikan), al-Adwiyah al-Muharraqah (Obat-obat yang Membakar), Khawâs al-Adwiyah al-Mufarradah (Keistimewaan Obat-obat Tertentu), Aqrabâdzayn (Pharmacopeia), dan kitab paling penting Fî Hifdzal-Asnân wa al-Litsah wa Istishlâhihâ (Cara Menjaga Gigi dan Gusi dan Cara Pengobatannya). Karya-karya lain Hunain meliputi, Mukhtashar fî Târîkh al-Kîmîyâiyîn (Ringkasan Sejarah Para Ahli Kimia), Maqâlât (Essai-essai), al-Sabab min Ajlihi Shârat Miyâh al-Bahr Mâlihah (Tentang Sebab yang Membuat Air Laut Menjadi Asin), Fî Tawlîd al-Nâr bayn Hajarayn (Tentang Munculnya Api dari Dua Batu), dan risalah-risalah pendek seperti Fî al-Dhawi wa Haqîqatihi (Tentang Sinar dan Hakikatnya), al-Awzân wa al-Akyâl (Timbangan dan Kilo), Muqtathâfât min Risâlah al-Mudznibât (Beberapa Essai tentang Pelaku Dosa), Alfâdz al-Falâsifah fî al-Mûsîqâ wa Nawâdîr Falsafiyah (Kata-kata Filsafati dalam Musik dan Keindahan Filosofis), al-Qawl fîmâ Yastajîbumin Syuhûr al-Sanah (Prihal Hal yang Disunahkan dan yang Tidak dalam Bulan dalam Setahun), Majâlis al-Hukamâ( Forum Para Filsuf), Ijtimâ’ât al-Falâsifah fî Bayt al-Hikmah fî al-A’yâd wa Tafâwudl Baynahum (Perkumpulan Para Filsuf di Baitul Hikmah dalam Hari-hari Besar untuk Bermusyawarah di antara Mareka), Âdâb al-Falâsifah (Etika Para Filsuf), Kitâb fî al-Manthiq (Buku Logika), Kitâb fî al-Nahw (Buku Gramatika Bahasa Arab), dan karya-karya terjemahan Hunain dari buku Galen, Hippokrates, Pedanius Dioscorides, Aristoteles, Euclides, Apollonius, Ptolemaeus, dan karya dokter-dokter Yunani lainnya. Mendalami Filsafat Konsentrasi Hunain ibn Ishaq tidak terbatas di bidang kedokteran saja, melainkan merambah ke filsafat, matematika dan ilmu-ilmu lain. Khalifah Al-Makmun mempercayakan Hunain menerjemah buku-buku Aristoteles, maka Hunain pun melakukan pekerjaannya dengan baik. Ia juga menerjemahkan beberapa karya Plato, Archimedes, Euclides, Menelaus, dan Theodosius. Dalam hal ini, Hunain melakuan koreksi karya-karya terjemahan pada masa khalifah Al-Manshur dan khalifah Harun Al-Rasyid. Seperti mengoreksi terjemahan Hujjaj terhadap karya Ptolemaeus al-Majisthî (Almagest), kemudian mengoreksi terjemahan Petrick terhadap karya Ptolemaeus juga yang berjudul al-Arba` Maqâlâtfî Shinâ`ah Ahkâm al-Nujûm (Empat Essai tentang Astronomi). Di masa khalifah Al-Makmun, Hunain juga menerjemahkan kitab suci Yahudi, Taurat, secara lengkap berdasar dari terjemahan Taurat Suptuagint. Sebagai catatan, terjemahan Suptuagint merupakan edisi terjemahan Taurat tertua dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan sebanyak 70-72 penerjemah antara tahun 130-280 SM. Dokter Gigi Karya Hunain ibn Ishaq,Fî Hifdz al-Asnân wa al-Litsah wa Istishlâhihâ, merupakan buku pertama di Arab tentang kesehatan gigi. Keunggulan buku Hunain menjelaskan cara mengobati sakit gigi dan seluruh isinya merupakan hasil pengalaman penulisnya selama bertahun-tahun. Buku Fî Hifdz al-Asnân wa al-Litsah wa Istishlâhihâ memiliki dua pemabahasan: pertama, membahas cara menjaga dan merawat gigi; kedua, membahas pengobatan gigi dan gusi disertakan petunjuk resep dan obat sakit gigi. Hunain mengawali pembahasan bukunya dengan kaidah-kaidah dasar tentang cara menjaga kesehatan bagi orang yang ingin merawat giginya. Di antaranya, menghindari makanan-makanan busuk sebab kotoran di dalam lambung dapat memberikan gangguan yang berimbas pada kerusakan gigi, selain itu harus menghindari mengunyah makanan-makanan keras, dan tidak kalah penting jika ingin gigi sehat harus rutin mengosok gigi dengan siwak/sikat. Prihal obat gigi atau dentifrice. Para dokter terdahulu meyakini bahwa setiap obat memiliki efek samping pada tubuh. Penting kiranya mengetahui dosis obat dan mengetahui bahan racikan dalam kandungan obat tersebut sehingga campuran dari racikan itu mengahasilkan obat yang manjur. Beberapa obat gigi di antaranya antibiotik nabati dari tumbuh-tumbuhan, dan mineral atau berasal dari hewan. Hunain memberi ringkasan bermanfaat tentang kesehatan gigi di zaman itu (abad ke-3 H) serta melampirkan pula gambar obat dan cara penyembuhan berikut tata cara penanganannya. Menariknya, Hunain bersandar pada logika ilmiah yang dikuatkan dengan pengalaman dan eksperimen ilmiah. Hunain sendiri menghindari praktek tidak empirik dan mengenyahkan sesuatu yang tidak logis. Pesan Hunain tentang cara menjaga kesehatan gigi di atas terbukti masih relevan di zaman sekarang. Gerakan terjemah merupakan kegiatan penting dalam sejarah peradaban Arab-Islam, bahkan menjadi pilar tak terpisahkan dalam sejarah peradaban itu sendiri. Bisa dikatakan gerakan terjemah adalah pilar asasi dan paling inti dalam peradaban Arab-Islam. Berkat gerakan terjemah, orang-orang Arab dapat mengakses buku-buku penting warisan beberapa peradaban tersohor di zaman dulu (Yunani, India, dan Persia) yang selanjutnya menjadi tonggak kemajuan bagi peradaban Arab-Islam itu sendiri. Hasil yang dicapai gerakan terjemah –khususnya pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah– tidak akan muncul maksimal kalau bukan karena interaksi dan persinggungan lansung dengan warisan peradaban klasik. Bahwa pemikiran Islam tidak serta merta mengemuka kalau bukan setelah proses pengkajian dan penelitian atas karangan filsuf-filsuf besar Yunani. Begitu pun peradaban Eropa tidak mampu berdiri kecuali berkat sumbangsih peradaban Islam, persisnya setelah Eropa menerjemahkan berbagai disiplin buku-buku Arab ke dalam bahasa mereka. Bangsa Arab telah mengembangkan eksperimen ilmiah baik secara teoritis maupun praktis yang berhasil mereka ambil dari peradaban Yunani, kemudian setelah melakukan investigasi dan analisa mendalam barulah mereka kembangkanwarisan itu dengan kreasi baru. Bangsa Arab menyuguhkkan peraktek penelitian ilmiah yang benar berdasar pada penelitian dan eksperimen ilmiah. Mereka menempuh pengkajian teori-teori, kaidah-kaidah dan gagasan-gagasan ilmiah dengan tetap mempertahankan kebenaran dari suatu teori serta mengoreksi beberapa teori yang terbukti salah, dan semua itu berjalan di atas atmosfir kebebasan berpikir yang cukup dinamis. Atas dasar ini bangsa Arab berhasil menikmati kemajuan ilmu-ilmu alam (al-`ulûmal-thabî’iyyah), terutama fisika dan kedokteran, dan secara tidak langsung meninggalkan pengaruh pada ilmuan-ilmuan Eropa seperti Roger Bacon, Leonardo Davinci, Willian Harvey dan ilmuan-ilmuan lain. *Diterjemahkan Imam Wahyuddin dari judul asli: Hunain ibn Ishâq: al-Mutarjim al-Mausû`ie wa al-Thabîb al-Iklînîkîe, yang dimuat di rubrik Turâts dalam majalah budaya “Al-Arabi” edisi 610, September 2009, hal. 145-149 (Publised by Ministry of Information – state Kuwait)